Total Tayangan Halaman

Minggu, 07 Agustus 2011

askep anak dengan sindrom kawasaki

PENGERTIAN
Penyakit Kawasaki (sindrom nodus limfa mukokutan) adalah bentuk vaskulitis diidentifikasi oleh penyakit demam akut dengan beberapa sistem terpengaruh.
Penyakit Kawasaki adalah demam pada anak yang berkaitan dengan vaskulitis terutama pembuluh darah koronaria serta keluhan sistemik lainnya.
The cause is unknown, but autoimmunity, infection, and genetic predisposition are believed to be involved.Sindroma ini pertama kali diketahui pada akhir tahun 1960 di Jepang oleh dokter anak Tomisaku Kawasaki. Nama lain sindroma ini Mucocutaneous lymphnode sindrome. Disebut demikian karena penyakit ini menyebabkan perubahan yang khas pada membran mukosa bibir dan mulut disertai pembengkakan kelenjar limfe yang nyeri.
2.2 ANATOMI FISIOLOGI SISTEM KARDIOVASKULAR
2.1 Antomi Jantung
2.1.1 Ukuran dan bentuk
Jantung adalah organ berongga berbentuk kerucut tumpul yang memiliki empat ruang yang terletak antara kedua paru-paru di bagian tengah rongga toraks. Dua pertiga jantung terletak di sebelah kiri garis midsternal. Jantung dilindungi mediastinum. Jantung berukuran kurang lebih sebesar kepalan tangan pemiliknya (Ethel, 2003: 228).
2.1.2 Pelapis
2.1.2.1 Perikardium adalah kantong berdinding ganda yang dapat membesar dan mengecil, membungkus jantung dan pembuluh darah besar. Kantong ini melekat pada diafragma, sternum dan pleura yang membungkus paru-paru. Di dalam perikardium terdapat dua lapisan yakni lapisan fibrosa luar dan lapisan serosa dalam.
2.1.2.2 Rongga perikardial adalah ruang potensial antara membran viseral dan parietal (Ethel, 2003: 228-229).
2.1.3 Dinding Jantung
Terdiri dari tiga lapisan:
2.1.3.1 Epikardium luar tersusun dari lapisan sel-sel mesotelial yang berada di atas jaringan ikat
2.1.3.2 Miokardium tengah terdiri dari jaringan otot jantung yang berkontraksi utnuk memompa darah. Kontraksi miokardium menekan darah keluar ruang menuju arteri besar.
2.1.3.3 Endokardium dalam tersusun dari lapisan endotellial yang melapisi pembuluh darah yang memasuki dan meninggalkan jantung (Ethel, 2003: 229).
2.1.4. Tanda – tanda Permukaan
2.1.4.1 Sulkus Koroner (atrioventrikular) mengelilingi jantung diantara atrium dan ventrikel.
2.1.4.2 Sulkus Interventrikular anterior dan posterior, memisahkan ventrikel kanan dan ventrikrl kiri (Ethel, 2003: 230).
2.1.5 Rangka Fibrosa Jantung
Tersusun dari nodul-nodul fibrokartilago di bagian atas septum interventrikular dan cincin jaringan ikat rapat di sekeliling bagian dasar trunkus pulmonar dan aorta (Ethel, 2003: 230).
2.1.6 Ruang Jantung
2.1.6.1 Ada empat ruang, atrium kanan dan kiri atas yang dipisahkan oleh septum intratrial, ventrikel kanan dan kiri bawah dipisahkan oleh septum interventrikular
2.1.6.2 Dinding atrium relatif tipis. Atrium menerima darah dari vena yang membawa darah kembali ke jantung.
2.1.6.2.1 Atrium kanan terletak dalam bagian superior kanan jantung, menerima darah dari seluruh jaringan kecuali paru-paru.
(1) Vena cava superior dan inferior membawa darah yang tidak mengandung oksigen dari tubuh kembali ke jantung.
(2) Sinus koroner membawa kembali darah dari dinding jantung itu sendiri.
2.1.6.2.2 Atrium kiri di di bagian superior kiri jantung, berukuran lebih kecil dari atrium kanan, tetapi dindingnya lebih tebal. Atrium kiri menampung empat vena pulmonalis yang mengembalikan darah teroksigenasi dari paru-paru.
2.1.6.3 Ventrikel berdinding tebal. Bagian ini mendorong darah ke luar jantung menuju arteri yang membawa darah meninggalkan jantung.
(1) Ventrikel kanan terletak di bagian inferior kanan pada apeks jantung. Darah meninggalkan ventrikel kanan melalui trunkus pulmonar dan mengalir melewati jarak yang pendek ke paru-paru.
(2) Ventrikel kiri terletak di bagian inferior kiri pada apeks jantung. Tebal dindingnya 3 kali tebal dinding ventrikel kanan darah meninggalkan ventrikel kiri melalui aorta dan mengalir ke seluruh bagian tubuh kecuali paru-paru.
(3) Trabeculae carneae adalah hubungan otot bundar atau tidak teratur yang menonjol dari permukaan bagian dalam kedua ventrikel ke rongga ventrikuler (Ethel, 2003: 229).
2.2 Fisiologi Jantung
2.2.1 Sistem pengaturan jantung
2.2.1.1 Serabut purkinje adalah serabut otot jantung khusus yang mampu menghantar impuls dengan kecepatan lima kali lipat kecepatan hantaran serabut otot jantung.
2.2.1.2 Nodus sinoatrial (nodus S-A) adalah suatu masa jaringan otot jantung khusus yang terletak di dinding posterior atrium kanan tepat di bawah pembukaan vena cava superior. Nodus S-A mengatur frekuensi kontraksi irama, sehingga disebut pemacu jantung.
2.2.1.3 Nodus atrioventrikular (nodus A-V) berfungsi untuk menunda impuls seperatusan detik, sampai ejeksi darah atrium selesai sebelum terjadi kontraksi ventrikular.
2.2.1.4 Berkas A-V berfungsi membawa impuls di sepanjang septum interventrikular menuju ventrikel (Ethel, 2003: 231-232).
2.2.2 Siklus jantung
Siklus jantung mencakup periode dari akhir kontraksi (sistole) dan relaksasi (diastole) jantung sampai akhir sistole dan diastole berikutnya. Kontraksi jantung mengakibatkan perubahan tekanan dan volume darah dalam jantung dan pembuluh utama yang mengatur pembukaan dan penutupan katup jantung serta aliran darah yang melalui ruang-ruang dan masuk ke arteri.
Peristiwa mekanik dalam siklus jantung:
2.2.2.1 selama masa diastole (relaksasi), tekanan dalam atrium dan ventrikel sama-sama rendah, tetapi tekanan atrium lebih besar dari tekanan ventrikel.
1. atrium secara pasif terus – menerus menerima darah dari vena (vena cava superior dan inferior, vena pulmonar).
2. darah mengalir dari atrium menuju ventrikel melalui katup A-V yang terbuka.
3. Tekanan ventrikular mulai meningkat saat ventrikel mengembang untuk menerima darah yang masuk.
4. Katup semilunar aorta dan pulmonar menutup karena tekanan dalam pembuluh-pembuluh lebih besar daripada tekanan dalam ventrikel.
5. Sekitar 70% pengisian ventrikular berlangsung sebelum sistole atrial.
2.2.2.2 Akhir diastole ventrikular, nodus S-A melepas impuls, atrium berkontraksi dan peningkatan tekanan dalam atrium mendorong tambahan darah sebanyak 30% ke dalam ventrikel.
2.2.2.3 Sistole ventrikular. Aktivitas listrik menjalar ke ventrikel yang mulai berkontraksi. Tekanan dalam ventrikel meningkat dengan cepat dan mendorong katup A-V untuk segera menutup.
2.2.2.4 Ejeksi darah ventrikular ke dalam arteri
2.2.2.5 Diastole ventrikular
1. Ventrikel berepolarisasi dan berhenti berkontraksi. Tekanan dalam ventrikel menurun tiba-tiba sampai di bawah tekanan aorta dan trunkus pulmonary, sehingga katup semilunar menutup (bunyi jantung kedua)
2. Adanya peningkatan tekanan aorta singkat akibat penutupan katup semilunar aorta.
3. Ventrikel kembali menjadi rongga tertutup dalam periode relaksasi isovolumetrik karena katup masuk dan katup keluar menutup. Jika tekanan dalam ventrikel menurun tajam dari 100 mmHg samapi mendekati nol, jauh di bawah tekanan atrium, katup A-V membuka dan siklus jantung dimulai kembali (Ethel, 2003: 234-235).
2.2.3 Frekuensi jantung
2.2.3.1 Frekuensi jantung normal berkisar antara 60 samapi 100 denyut per menit, dengan rata-rata denyutan 75 kali per menit. Dengan kecepatan seperti itu, siklus jantung berlangsung selama 0,8 detik: sistole 0,5 detik, dan diastole 0,3 detik.
2.2.3.2 Takikardia adalah peningkatan frekuensi jantung sampai melebihi 100 denyut per menit.
2.2.3.3 Bradikardia ditujukan untuk frekuensi jantung yang kurang dari 60 denyut per menit (Ethel, 2003: 235).
2.2.4 Curah Jantung
2.2.4.1 Definisi
Curah jantung adalah volume darah yang dikeluarkan oleh kedua ventrikel per menit. Curah jantung terkadang disebut volume jantung per menit. Volumenya kurang lebih 5 L per menit pada laki-laki berukuran rata-rata dan kurang 20 % pada perempuan.
2.2.4.2 Perhitungan curah jantung
Curah jantung = frekuensi jantung x isi sekuncup
1. Faktor-faktor utama yang mempengaruhi curah jantung aktivitas berat memperbesar curah jantung sampai 25 L per menit, pada atlit yang sedang berlatih mencapai 35 L per menit. Cadangan jantung adalah kemampuan jantung untuk memperbesar curahnya.
2. Aliran balik vena ke jantung. Jantung mampu menyesuaikan output dengan input-nya.
2.3 ETIOLOGI
Penyebab pasti penyakit ini sampai sekarang tidak diketahui. Hasil penelitian Prof. Anne H Rovley dkk, menunjukkan adanya antibody Immunoglobulin A (IgA) yang berikatan dengan struktur spheroid pada bronkhus penderita kawasaki. Antibody ini merupakan inclusion bodies berisi protein dan asam nukleat yang merupakan ciri khas infeksi disebabkan virus. Dari hasil temuan ini mereka menduga penyebab kawasaki disease adalah infeksi virus yang masuk melalui jalur pernapasan. Namun sampai sekarang tidak ada seorangpun yang dapat membuktikannya.
Sebuah asosiasi telah diidentifikasi dengan SNP pada gen ITPKC, yang merupakan kode enzim yang negatif mengatur aktivasi T-sel. An additional factor that suggests genetic susceptibility is the fact that regardless of where they are living, Japanese children are more likely than other children to contract the disease. Faktor tambahan yang menunjukkan kerentanan genetik adalah kenyataan bahwa di mana pun mereka hidup, anak-anak Jepang lebih cenderung anak-anak lain untuk kontrak penyakit. The HLA-B51 serotype has been found to be associated with endemic instances of the disease.The serotipe HLA-B51 telah ditemukan terkait dengan kasus endemik penyakit ini.
2.4 TANDA DAN GEJALA
2.4.1 Stadium I - Tahap Febrile akut (Pertama 10 hari)
§ The child appears severely ill and irritable.Si anak tampak sangat sakit dan mudah tersinggung.
§ Major diagnostic criteria established by the Centers for Disease Control and Prevention (CDC) are as follows: Mayor diagnostik kriteria yang ditetapkan oleh Pusat Pengendalian dan
Pencegahan Penyakit (CDC) adalah sebagai berikut :
a. High, spiking fever for 5 days or more. Tinggi, spiking demam selama 5 hari atau lebih.
b. Bilateral conjunctival injection. Injeksi konjungtiva bilateral.
c. Oropharyngeal erythema, “Strawberry “ tongue, or red dry lips. Orofaringeal eritema, "Strawberry" lidah, atau bibir kering merah.
d. Erythema and edema of hands and feet, periungal desquamation. Eritema dan edema tangan dan kaki, desquamation periungal.
e. Erythematous generalized rash. Erythematous umum ruam.
f. Cervical lymphadenopathy greather than 0.6 inch (1.5cm) Serviks limfadenopati greather dari 0,6 inci (1,5 cm)
§ Pericarditis, myocarditis, cardiomegaly, heart failure, and pleural effusion. Perikarditis, miokarditis, cardiomegaly, gagal jantung, dan efusi pleura.
§ Other associated findings include meningitis, arthritis, sterile pyuria, vomiting, and diarrhea. Temuan terkait lainnya termasuk meningitis, arthritis, piuria steril, muntah dan diare
2.4Stage II – Subacute Phase (Days 11 to 25).2 Tahap II - Fase subakut (Hari 11-25)
§ Acute symptoms of stage I subside as temperature returns normal.Gejala akut dari tahap I mereda sebagai temperatur kembali normal. The child remains irritable and anorectic. Anak itu tetap mudah tersinggung dan anorectic.
§ Dry, cracked lips with fissures.Kering, retak dengan celah bibir.
§ Desquamation of toes and fingers. Desquamation jari dan jari.
§ Coronary thrombus, aneurysm, myocardial infarction, and heart failure. Trombus koroner, aneurisma, infark miokard, dan gagal jantung.
§ Thrombocytosis peaks at 2 weeks. Trombositosis puncak pada 2 minggu.
Stage III – Convalescent Phase (Until sedimentation rate and platelet count normalize)2.4.3 Tahap - Tahap Convalescent (Sampai laju sedimentasi dan jumlah trombosit normal). Pada fase ini laju endap darah dan hitung trombosit mencapai nilai normal kembali, dapat dijumpai garis tranversa yang dikenal dengan Beau’s line. Meskipun anak tampak menunjukkan perbaikan klinis, namun kelainan jantung dapat berlangsung terus.
1. Anak itu muncul dengan baik.
2. Melintang Alur pada jari dan kuku (garis Beau).
3. trombosis koroner, aneurisma dapat terjadi.
2.5 PATOFISIOLOGI
The child appears well.
Bagian yang paling sering terkena dari jantung adalah pembuluh darah koroner. Bagian ini dapat melemah dan melebar (menonjol) dan menjadi aneurisma. Penggumpalan darah dapat terjadi pada area yang melemah ini, sehingga menyumbat arteri tersebut, dimana terkadang menyebabkan serangan jantung (heart attack). Aneurisma dapat juga pecah namun hal ini jarang terjadi. Perubahan lain yang dapat terjadi adalah peradangan / inflamasi pada otot jantung (miocarditis), dan pada kantong yang mengelilingi jantung (pericarditis).
Irama jantung yang abnormal (aritmia) dan radang pada katup-katup jantung (valvulitis) dapat juga terjadi. Biasanya semua masalah yang terjadi pada jantung tersebut akan menghilang dalam waktu 5-6 minggu, namun kadang kala kerusakan pada pembuluh darah koroner bisa menetap untuk waktu yang lama.
2.6 KOMPLIKASI
Kematian mendadak dan gangguan fungsi jantung serta pembuluh darah yang berat merupakan masalah serius pada anak. Kelainan jantung yang paling serius ialah aneurisma, obstruksi koronaria, infark miokard dan kelainan katup yang berat.
2.6.1 Aneurisma Koronaria (AK)
Insidensi AK pada PK 7­40 %. Frekuensi sama pada anak lelaki dan perempuan, dapat ditemukan pada semua umur. Timbulnya AK biasanya pada hari ke 8­15 perjalanan penyakit. Demam pada penderita PK yang mendapat AK berlangsung lebih lama. Kelainan ini dapat dideteksi dengan ekokardiografi 2 dimensi atau angiografi.
Pada stadium akut, lebih dari setengah penderita PK menunjukkan dilatasi koronaria, namun hanya 10­20 % yang mendapat AK pada akhir stadium akut. Timbulnya AK tidak berarti menyebabkan gangguan iskhemik atau disfungsi jantung. Di antara penderita AK tersebut, setengahnya menunjukkan perbaikan pada pemeriksaan angiografi berulang-ulang setelah 1­2 tahun. Hanya 3% yang mendapat sekuele dengan kemungkinan penyakit jantung iskhemik . Bentuk AK yang dapat menjadi faktor risiko obstruksi koronaria ialah :
§ ukuran aneurisma (diameter lebih 8 mm)
§ bentuk bola, sausage atau aneurisma multipel
§ kasus yang tidak diobati antitrombosis sejak stadium akut.
2.6.2 Obstruksi Arteri Koronaria (OK)
Kliniknya sangat bervariasi, dari asimtomatik sampai gejala angina, infark miokard atau mati mendadak. Kelainan ini dapat dideteksi dengan ekokardiografi atau angiografi koronaria. Pada angiografi ternyata kebanyakan penderita infark miokard yang meninggal menunjukkan obstruksi pada arteri koronaria kiri atau kanan dan desendens anterior. Pada kasus yang hidup obstruksi seringkali mengenai satu pembuluh darah, terutama arteri koronaria kanan.
2.6.3 Infark Miokard (IM)
IM biasanya timbul dalam tahun pertama "onset" penyakit tetapi dapat juga setiap saat. Seringkali serangan IM timbul waktu tidur malam atau istirahat, disertai tanda-tanda renjatan, pucat, muntah-muntah, nyeri perut, sesak napas dan nyeri dada. Sekitar 37 % kasus IM tidak bergejala. Pada foto toraks dapat ditemukan pembesaran jantung. EKG dapat menunjukkan perubanan gelombang Q dan lokasi IM. Pada ekokardiografi 2 dimensi dapat ditemukan gerakan abnormal dinding ventrikel kiri. Kateterisasi jantung dan angiokardiografi merupakan pemeriksaan yang paling tepat untuk mendeteksi lesi koronaria dan evaluasi fungsi ventrikel kiri. Pada angiografi koronaria dapat dijumpai obstruksi arteri koronaria. Kebanyakan penderita IM menunjukkan pembesaran dan berkurangnya fungsi ventrikel kiri
2.6.3 Kelainan Katup Jantung
Pada PK kadang-kadang ditemukan kelainan katup seperti regurgitasi mitial (RM) dan aorta; yang terakhir ini sangat jarang. Insidensi RM 1%. RM yang ringan terdapat pada stadium akut umumnya sembuh, sedangkan yang berat dapat berakhir dengan payah jantung yang disertai gangguan miokard dan koroner.
Penyebab RM ialah valvulitis, peradangan atau iskhemik otot-otot papilla dan dilatasi ventrikel kiri.
2.6.4 Miokarditis
Kebanyakan penderita PK menunjukkan tanda-tanda miokarditis pada stadium akut, terutama pada minggu pertama dan kedua serta tidak bergantung kepada ada tidaknya kelainan arteri koronaria.
Pada kelainan ini dijumpai irama gallop, bunyi jantung melemah, aritmia pada EKG, ekografk yang abnormal dan peninggian kreatin kinase dalam serum. Umumnya kelainan ini akan sembuh sendiri sesudah stadium akut dan jarang menetap atau bertambah berat.
2.6.5 Perikarditis
Tigapuluh persen semua penderita PK mendapat perikarditis pada minggu pertama dan kedua. Pada kebanyakan penderita terdapat efusi perikard yang ringan dengan ekokardiografi. Tamponade jantung jarang ditemukan.
2.6.6 Aneurisma Arteri Yang Lain
Aneurisms dapat pula terjadi pada arteri sistemik yang lain. Insidensi kurang 3% dan predisposisi pada arteri axillaris, iliaka, renalis, mammaria interna, femoralis dan subskapularis. Umumnya gejala-gejala sangat kurang. Bila mengenai arteri renalis, hal ini dapat menimbulkan hipertensi renalis.
2.7 PEMERIKSAAN PENUNJANG
Diagnostik evaluasi :
2.7.1 The diagnostic of Kawasaki disease is based on clinical manifestations.Diagnostik penyakit Kawasaki didasarkan pada manifestasi klinis. The CDC requires that fever and four of the six other criteria listed above in stage I be demonstrated. CDC memerlukan bahwa demam dan empat dari enam kriteria lain yang tercantum di atas pada tahap I didemonstrasikan.
2.7.2Electrocardiogram, echocardiogram, cardiac catheterization, and angiocarddiography may be required to diagnose cardiac abnormalities. Elektrokardiogram, ekokardiogram, kateterisasi jantung, dan angiocarddiography mungkin diperlukan untuk mendiagnosa kelainan jantung.
2.7.3 Although there are no specific laboratory tests, the following may help support diagnosis or rule out other disease.Meskipun tidak ada tes laboratorium khusus, berikut dapat membantu diagnosis mendukung atau menyingkirkan penyakit lainnya.
a. CBC – leukocytosis during acute stage.CBC - leukositosis selama tahap akut.
b. EErythrocytes and hemoglobin – slight decrease.ritrosit dan hemoglobin - sedikit penurunan.
c. Menghitung trombosit - meningkat selama minggu keempat kedua penyakit.
d. IgM, IgA, IgG, dan IGF - transiently ditinggikan.
e. Urin - protein dan leukosit hadir.
f. Reaktan fase Akut (ESR, protein C-reaktif, alpha aku antitrypsin) yang meningkat selama fase akut.
g. Tingkat enzim miokard (serum CK-MB) menyarankan MI jika ditinggikan.
h. Enzim hati (AST, ALT) - cukup tinggi.
i. Profil lipid - lipoprotein densitas rendah tingkat tinggi dan trigliserida tinggi.
2.8 PENATALAKSANAAN MEDIS DAN KEPERAWATAN
Semua pasien dengan Penyakit Kawasaki fase akut harus menjalani tirah baring dan rawat inap. Selama fase akut aspirin dapat di berikan 80-100 mg/kgbb/hari dalam 4 dosis terbagi dan imunoglobulin intravena 2 gr/kgbb dosis tunggal diberikan selama 10-12 jam. Lamanya pemberian aspirin bervariasi, pengurangan dosis dilakukan 48-72 jm bebas demam, beberapa klinisi memberikan aspirin dosisi tinggi sampai 14 hari sakit dan 48-72 jam setelah demam hilang. Dosis rendah aspirin 3-5mg/kgbb/hari dan dipertahankan hingga pasien tidak menunjukan perubahan arteri koroner dalam 6-8 minggu onset penyakit. Steroid digunakan untuk Penyakit Kawasaki bila terdapat kegagalan respon dengan terapi inisial. Regimen steroid yang umum diberikan methylprednisolon intravena 30mg/kgbb selama 2-3 hari diberikan sekali sehari selama 1-3 jam.
Meskipun penyebab pasti PK belum diketahui, beberapa obat tertentu terbukti mampu untuk mengobati penyakit ini, Aspirin misalnya sering digunakan pada penyakit PK untuk menurunkan panas, mengurangi iritasi/ruam kulit, nyeri sendi dan dapat mencegah penggumpalan darah. Obat jenis lain seperti Intravenous Immunoglobulin (IVIG) dipakai untuk mengurangi resiko terjadinya kelainan/kerusakan pada pembuluh darah koroner, ini harus diberikan sedini mungkin.
2.9 ASUHAN KEPERAWATAN
2.9.1 Pengkajian
1. Aktivitas/istirahat
Gejala : kelelahan, kelemahan
Tanda : takikardia, penurunan TD, dispnea dengan aktivitas
2. Sirkulasi
Gejala : riwayat penyakit jantung kongenital, IM, palpitasi, jatuh pingsan
Tanda : takikardia, distritmia
3. Eliminasi
Gejala : Riwayat penyakit ginjal/gagal ginjal, penurunan jumlah urin
Tanda : urin pekat dan gelap
4. Nyeri/ketidaknyamanan
Gejala : nyeri dada/punggung/sendi
Tanda : perilaku distraksi
5. Keamanan
Gejala : riwayat penyakit infeksi virus, bakteri, jamur (miokarditis: trauma dada), penurunan sistem imun
Tanda : demam
2.9.2 pemeriksaan fisik
Pemeriksaan fisik didapatkan anak tampak lemah, rewel, tidak sesak, tidak sianosis. Berat badan 10,3 kg, tinggi badan 87 cm, lingkar kepala 45 cm (normosefal). BB/U: -1 s/d -2 SD, TB/U : -2 SD, BB/T -2 s/d -3 SD, jadi status gizi pasien adalah gizi kurang. Tanda vital : nadi 130 x/menit, regular, kekuatan cukup (takikardi), respirasi 26 x/menit, teratur, kedalaman cukup, suhu aksila 38,5oC, tekanan darah 100/70 mmHg. Pada kepala tidak didapatkan anemis, tidak ikterik, didapatkan bibir merah, kering, krusta (+) (cracked lips), lidah kemerahan (strawberry tongue). Pada leher didapatkan pembesaran kelenjar getah bening sebelah kanan, tidak nyeri tekan, multiple, diameter 1 cm, tidak ada tanda-tanda radang. Pemeriksaan jantung dan paru didapatkan hasil dalam batas normal, demikian juga dari pemeriksaan abdomen didapatkan hasil dalam batas normal. Ekstremitas : tangan dan kaki udem, nyeri (+), kemerahan (+), didapatkan keterbatasan gerak, kekuatan motorik anggota gerak atas dan bawah kiri dan kanan : dbn, sensibilitas kesan normal.
2.10 DIAGNOSA KEPERAWATAN
2.10.1 Gangguan rasa nyaman nyeri b/d inflamasi miokardium atau perikardium
2.10.2 Resti penurunan curah jantung b/d akumulasi cairan dalam kantung perikardium
2.10.3 Intoleransi aktivitas b/d inflamasi dan degenerasi sel-sel otot miokard
2.11 INTERVENSI KEPERAWATAN
NO
DX
INTERVENSI
RASIONAL
1
DX: 1
1. Selidiki keluhan nyeri dada, perhatukan awitan dan faktor pemberat atau penurun. Perhatikan petunjuk non verbal dari ketidaknyamanan, mis: berbaring dengan diam dan gelisah, tegangan otot, menangis.
2. Berikan lingkungan yang tenang dan tindakan kenyamanan, mis: perubahan posisi, gosokan punggung, penggunaan kompres hangat/dingin, emosional
3. Berikan aktivitas hiburan yang tepat
4. Berikan obat sesuai indikasi:
· Aspirin
1. Nyeri secara khas terletak subternal dan dapat menyebar keleher dan punggung. Namun, ini berbeda dari iskemia miokard/nyeri infark, pada nyeri ini menjadi memburuk pada inspirasi mendalam, gerakan atau berbaring dan hilang dengan duduk tegak
2. Tindakan ini dapat menurunkan kenyamanan fisik dan emosional
3. Mengarahkan kembali perhatian, memberikan destraksi dalam tingkat aktivitas individu.
4. Dapat menghilangkan nyeri, menurunkan respon inflamasi
2
DX: 2
1. Pantau frekuensi curah jantung
2. Dorong tirah baring dalam posisi semi fowler
3. Dorong penggunaan tekhnik menagemen stress, mis: latihan pernafasan
4. Berikan oksigen suplemen
5. Antibiotik/antimikrobial intravena
1. Takikardi dan disritmia dapat terjadi saat jantung berupaya untuk meningkatkan curahnya berespon pada demam, hipoksia, asidosis karna iskemia
2. Menurunkan beban kerja jantung, memaksimalkan curah jantung
3. Perilaku yang bermanfaat untuk mengontrol ansietas, meningkatkan relaksasi
4. Meningkatkan ketersediaan oksigen untuk fungsi miokard dan menurunkan efek metabolisme anaerob, yang terjadi akibat dari hipoksia dan asidosis
5. Diberikan untuk mengatasi patogen yang terindikasi (perikarditis, miokarditis), yang mencegah kerusakan jantung lebih lanjut
3
DX: 3
1. Kaji respon pasien terhadap aktivitas. Perhatikan adanya dan perubahan dalam kelemahan, keletihan, dan dipsnea berkenaan dengan aktivitas
2. Pantau frekuensi/irama jantung, TD, dan frekuensi pernafasan sebelum dan setelah aktivitas
3. Rencanakan perawatan dengan periode demam dan sesuai indikasi
4. Berikan oksigen suplemen
1. Miokarditis menyebabkan inflamasi dan kemungkinan kerusakan sel-sel miokardial, sebagai akibat GIK. Penurunan pengisian dan curah jantung dapat menyebabkan pengumpulan cairan dalam kantung perikardial bila ada perikarditis.
2. Membantu menurunkan derajat dekompensasi jantung dan pulmonal, penurunan TD, takikardia, disritmia dan takipnea adalah indikatif dari kerusakan toleransi jantung terhadap aktivitas
3. Memberikan keseimbangan dalam kebutuhan dimana aktivitas bertumpu pada jantung: menigkatkan proses penyembuhan dan kemampuan koping emosional
4. Peningkatan persediaan oksigen untuk ambilan miokard untuk mengimbangi peningkatan konsumsi oksigen yang terjadi dengan aktivitas

Rabu, 03 Agustus 2011

ASKEP LIMFOMA MALIGNA

I. Konsep Dasar Penyakit
a. Pengertian
Limfoma maligna (kanker kelenjar getah bening) merupakan bentuk keganasan dari sistem limfatik yaitu sel-sel limforetikular seperti sel B, sel T dan histiosit sehingga muncul istilah limfoma maligna (maligna = ganas). Ironisnya, pada orang sehat sistem limfatik tersebut justru merupakan komponen sistem kekebalan tubuh. Ada dua jenis limfoma maligna yaitu Limfoma Hodgkin (HD) dan Limfoma non-Hodgkin (LNH).

b. Epidemiologi
Saat ini, sekitar 1,5 juta orang di dunia hidup dengan limfoma maligna terutama tipe LNH, dan dalam setahun sekitar 300 ribu orang meninggal karena penyakit ini. Dari tahun ke tahun, jumlah penderita penyakit ini juga terus meningkat. Sekadar gambaran, angka kejadian LNH telah meningkat 80 persen dibandingkan angka tahun 1970-an. Data juga menunjukkan, penyakit ini lebih banyak terjadi pada orang dewasa dengan angka tertinggi pada rentang usia antara 45 sampai 60 tahun. Sedangkan pada Limfoma Hodgkin (DH) relative jarang dijumpai, hanya merupaka 1 % dari seluruh kanker. Di negara barat insidennya dilaporkan 3,5/100.000/tahun pada laki-laki dan 2,6/100.000/tahun pada wanita. Di Indonesia, belum ada laporan angka kejadian Limfoma Hodgkin. Penyakit limfoma Hodgkin banyak ditemukan pada orang dewasa muda antara usia 18-35 tahun dan pada orang di atas 50 tahun.

c. Etiologi
Penyebab dari penyakit limfoma maligna masih belum diketahui dengan pasti..Empat kemungkinan penyebabnya adalah: faktor keturunan, kelainan sistem kekebalan, infeksi virus atau bakteria (HIV, virus human T-cell leukemia/lymphoma (HTLV), Epstein-Barr virus (EBV), Helicobacter Sp) dan toksin lingkungan (herbisida, pengawet dan pewarna kimia).

d. Faktor Predisposisi
1. Usia
Penyakit limfoma maligna banyak ditemukan pada usia dewasa muda yaitu antara 18-35 tahun dan pada orang diatas 50 tahun
2. Jenis kelamin
Penyakit limfoma maligna lebih banyak diderita oleh pria dibandingkan wanita
3. Gaya hidup yang tidak sehat
Risiko Limfoma Maligna meningkat pada orang yang mengkonsumsi makanan tinggi lemak hewani, merokok, dan yang terkena paparan UV
4. Pekerjaan
Beberapa pekerjaan yang sering dihubugkan dengan resiko tinggi terkena limfoma maligna adalah peternak serta pekerja hutan dan pertanian. Hal ini disebabkan adanya paparan herbisida dan pelarut organik.
e. Patofisiologi
Proliferasi abmormal tumor dapat memberi kerusakan penekanan atau penyumbatan organ tubuh yang diserang. Tumor dapat mulai di kelenjar getah bening (nodal) atau diluar kelenjar getah bening (ekstra nodal).
Gejala pada Limfoma secara fisik dapat timbul benjolan yang kenyal, mudah digerakkan (pada leher, ketiak atau pangkal paha). Pembesaran kelenjar tadi dapat dimulai dengan gejala penurunan berat badan, demam, keringat malam. Hal ini dapat segera dicurigai sebagai Limfoma. Namun tidak semua benjolan yang terjadi di sistem limfatik merupakan Limfoma. Bisa saja benjolan tersebut hasil perlawanan kelenjar limfa dengan sejenis virus atau mungkin tuberkulosis limfa.
Beberapa penderita mengalami demam Pel-Ebstein, dimana suhu tubuh meninggi selama beberapa hari yang diselingi dengan suhu normal atau di bawah normal selama beberapa hari atau beberapa minggu. Gejala lainnya timbul berdasarkan lokasi pertumbuhan sel-sel limfoma.

f. Klasifikasi
1. Klasifikasi Penyakit
Ada dua jenis penyakit yang termasuk limfoma malignum yaitu penyakit Hodgkin (PH) dan limfoma non Hodgkin (LNH). Keduanya memiliki gejala yang mirip. Perbedaannya dibedakan berdasarkan pemeriksaan patologi anatomi dimana pada PH ditemukan sel Reed Sternberg, dan sifat LNH lebih agresif

2. Klasifikasi Patologi
Klasifikasi limfoma maligna telah mengalami perubahan selama bertahun-tahun. Pada tahun 1956 klasifikasi Rappaport mulai diperkenalkan. Rappaport membagi limfoma maligna menjadi tipe nodular dan difus kemudian subtipe berdasarkan pemeriksaan sitologi. Modifikasi klasifikasi ini terus berlanjut hingga pada tahun 1982 muncul klasifikasi Working Formulation yang membagi limfoma maligna menjadi keganasan rendah, menengah dan tinggi berdasarkan klinis dan patologis. Seiring dengan kemajuan imunologi dan genetika maka muncul klasifikasi terbaru pada tahun 1982 yang dikenal dengan Revised European-American classification of Lymphoid Neoplasms (REAL classification).

3. Stadium Limfoma Maligna
Penyebaran Limfoma dapat dikelompokkan dalam 4 stadium. Stadium I dan II sering dikelompokkan bersama sebagai stadium awal penyakit, sementara stadium III dan IV dikelompokkan bersama sebagai stadium lanjut.
• Stadium I : Penyebaran Limfoma hanya terdapat pada satu kelompok yaitu kelenjar getah bening.
• Stadium II : Penyebaran Limfoma menyerang dua atau lebih kelompok kelenjar getah bening, tetapi hanya pada satu sisi diafragma, serta pada seluruh dada atau perut.
• Stadium III : Penyebaran Limfoma menyerang dua atau lebih kelompok kelenjar getah bening, serta pada dada dan perut.
• Stadium IV : Penyebaran Limfoma selain pada kelenjar getah bening setidaknya pada satu organ lain juga seperti sumsum tulang, hati, paru-paru, atau otak

g. Gejala Klinis
Gejala klinis dari penyakit limfoma maligna adalah sebagai berikut :
1. Limfodenopati superficial. Sebagian besar pasien datang dengan pembesaran kelenjar getah bening asimetris yang tidak nyeri dan mudah digerakkan (pada leher, ketiak atau pangkal paha)
2. Demam
3. Sering keringat malam
4. Penurunan nafsu makan
5. Kehilangan berat badan lebih dari 10 % selama 6 bulan (anorexia)
6. Kelemahan, keletihan
7. Anemia, infeksi, dan pendarahan dapat dijumpai pada kasus yang mengenai sumsum tulang secara difus

h. Pemeriksaan Fisik
• Pemeriksaan fisik pada daerah leher, ketiak dan pangkal paha
Pada Limfoma secara fisik dapat timbul benjolan yang kenyal, tidak terasa nyeri, mudah digerakkan (pada leher, ketiak atau pangkal paha)
• Inspeksi , tampak warna kencing campur darah, pembesaran suprapubic bila tumor sudah besar.
Palpasi, teraba tumor masa suprapubic, pemeriksaan bimanual teraba tumor pada dasar buli-buli dengan bantuan general anestesi baik waktu VT atau RT.

j. Pemeriksaan Penunjang
Untuk mendeteksi limfoma harus dilakukan biopsi dari kelenjar getah bening yang terkena dan juga untuk menemukan adanya sel Reed-Sternberg. Untuk mendeteksi Limfoma memerlukan pemeriksaan seperti sinar-X, CT scan, PET scan, biopsi sumsum tulang dan pemeriksaan darah. Biopsi atau penentuan stadium adalah cara mendapatkan contoh jaringan untuk membantu dokter mendiagnosis Limfoma. Ada beberapa jenis biopsy untuk mendeteksi limfoma maligna yaitu :
1. Biopsi kelenjar getah bening, jaringan diambil dari kelenjar getah bening yang membesar.
2. Biopsi aspirasi jarum-halus, jaringan diambil dari kelenjar getah bening dengan jarum suntik. Ini kadang-kadang dilakukan untuk memantau respon terhadap pengobatan.
3. Biopsi sumsum tulang di mana sumsum tulang diambil dari tulang panggul untuk melihat apakah Limfoma telah melibatkan sumsum tulang.

k. Terapi
• Cara pengobatan bervariasi dengan jenis penyakit. Beberapa pasien dengan tumor keganasan tingkat rendah, khususnya golongan limfositik, tidak membutuhkan pengobatan awal jika mereka tidak mempunyai gejala dan ukuran lokasi limfadenopati yang bukan merupakan ancaman.

• Radioterapi
Walaupun beberapa pasien dengan stadium I yang benar-benar terlokalisasi dapat disembuhkan dengan radioterapi, terdapat angka yang relapse dini yang tinggi pada pasien yang dklasifikasikan sebagai stadium II dan III. Radiasi local untuk tempat utama yang besar harus dipertimbangkan pada pasien yang menerima khemoterapi dan ini dapat bermanfaat khusus jika penyakit mengakibatkan sumbatan/ obstruksi anatomis.
Pada pasien dengan limfoma keganasan tingkat rendah stadium III dan IV, penyinaran seluruh tubuh dosis rendah dapat membuat hasil yang sebanding dengan khemoterapi.

• Khemoterapi
1. Terapi obat tunggal Khlorambusil atau siklofosfamid kontinu atau intermiten yang dapat memberikan hasil baik pada pasien dengan limfoma maligna keganasan tingkat rendah yang membutuhkan terapi karena penyakit tingkat lanjut.
2. Terapi kombinasi. (misalnya COP (cyclophosphamide, oncovin, dan prednisolon)) juga dapat digunakan pada pasien dengan tingkat rendah atau sedang berdasakan stadiumnya.

l. Prognosis
Kebanyakan pasien dengan penyakit limfoma maligna tingkat rendah bertahan hidup lebih dari 5-10 tahun sejak saat didiagnosis. Banyak pasien dengan penyakit limfoma maligna tingkat tinggi yang terlokalisasi disembuhkan dengan radioterapi. Dengan khemoterapi intensif, pasien limfoma maligna tingkat tinggi yang tersebar luas mempunyai perpanjangan hidup lebih lama dan dapat disembuhkan.

II. Konsep Dasar Asuhan Keperawatan
a. Pengkajian
Gejala pada Limfoma secara fisik dapat timbul benjolan yang kenyal, tidak terasa nyeri, mudah digerakkan (pada leher, ketiak atau pangkal paha). Pembesaran kelenjar tadi dapat dimulai dengan gejala penurunan berat badan, demam, keringat malam. Hal ini dapat segera dicurigai sebagai Limfoma. Namun tidak semua benjolan yang terjadi di sistem limfatik merupakan Limfoma. Bisa saja benjolan tersebut hasil perlawanan kelenjar limfe dengan sejenis virus atau mungkin tuberculosis limfa.
Pada pengkajian data yang dapat ditemukan pada pasien limfoma antara lain:
1. Data subjektif
a.Demam berkepanjangan dengan suhu lebih dari 38oC
b.Sering keringat malam.
c.Cepat merasa lelah
d.Badan Lemah
e.Mengeluh nyeri pada benjolan
f.Nafsu makan berkurang
2. Data Obyektif
a.Timbul benjolan yang kenyal,mudah digerakkan pada leher,ketiak atau pangkal paha.
b.Wajahpucat
3.Kebutuhan dasar
• AKTIVITAS/ISTIRAHAT
Gejala :
Kelelahan, kelemahan atau malaise umum
Kehilangan produktifitasdan penurunan toleransi latihan
Kebutuhan tidaur dan istirahat lebih bantak
Tanda :
Penurunan kekuatan, bahu merosot, jalan lamban dan tanda lain yang menunjukkan kelelahan
• SIRKULASI
Gejala
Palpitasi, angina/nyeri dada
Tanda
Takikardia, disritmia.
Sianosis wajah dan leher (obstruksi drainase vena karena pembesaran nodus limfa adalah kejadian yang jarang)
Ikterus sklera dan ikterik umum sehubungan dengan kerusakan hati dan obtruksi duktus empedu dan pembesaran nodus limfa(mungkin tanda lanjut)
Pucat (anemia), diaforesis, keringat malam.
• INTEGRITAS EGO
Gejala
Faktor stress, misalnya sekolah, pekerjaan, keluarga
Takut/ansietas sehubungan dengandiagnosis dan kemungkinan takut mati
Takut sehubungan dengan tes diagnostik dan modalitas pengobatan (kemoterapi dan terapi radiasi)
Masalah finansial : biaya rumah sakit, pengobatan mahal, takut kehilangan pekerjaan sehubungan dengan kehilangan waktu kerja.
Status hubungan : takut dan ansietas sehubungan menjadi orang yang tergantung pada keluarga.
Tanda
Berbagai perilaku, misalnya marah, menarik diri, pasif
• ELIMINASI
Gejala
Perubahan karakteristik urine dan atau feses.
Riwayat Obstruksi usus, contoh intususepsi, atau sindrom malabsorbsi (infiltrasi dari nodus limfa retroperitoneal)
Tanda
Nyeri tekan pada kuadran kanan atas dan pembesaran pada palpasi (hepatomegali)
Nyeri tekan pada kudran kiri atas dan pembesaran pada palpasi (splenomegali)
Penurunan haluaran urine urine gelap/pekat, anuria (obstruksi uretal/ gagal ginjal).
Disfungsi usus dan kandung kemih (kompresi batang spinal terjadi lebih lanjut)
• MAKANAN/CAIRAN
Gejala
Anoreksia/kehilangna nafsu makan
Disfagia (tekanan pada easofagus)
Adanya penurunan berat badan yang tak dapat dijelaskan sama dengan 10% atau lebih dari berat badan dalam 6 bulan sebelumnya dengan tanpa upaya diet.
Tanda
Pembengkakan pada wajah, leher, rahang atau tangan kanan (sekunder terhadap kompresi venakava superior oleh pembesaran nodus limfa)
Ekstremitas : edema ekstremitas bawah sehubungan dengan obtruksi vena kava inferior dari pembesaran nodus limfa intraabdominal (non-Hodgkin)
Asites (obstruksi vena kava inferior sehubungan dengan pembesaran nodus limfa intraabdominal)
• NEUROSENSORI
Gejala
Nyeri saraf (neuralgia) menunjukkan kompresi akar saraf oleh pembesaran nodus limfa pada brakial, lumbar, dan pada pleksus sakral
Kelemahan otot, parestesia.
Tanda
Status mental : letargi, menarik diri, kurang minatumum terhadap sekitar.
Paraplegia (kompresi batang spinaldari tubuh vetrebal, keterlibatan diskus pada kompresiegenerasi, atau kompresi suplai darah terhadap batng spinal)
• NYERI/KENYAMANAN
Gejala
Nyeri tekan/nyeri pada nodus limfa yang terkena misalnya, pada sekitar mediastinum, nyeri dada, nyeri punggung (kompresi vertebra), nyeri tulang umum (keterlibatan tulang limfomatus).
Nyeri segera pada area yang terkena setelah minum alkohol.
Tanda
Fokus pada diri sendiri, perilaku berhati-hati.
• PERNAPASAN
Gejala
Dispnea pada kerja atau istirahat; nyeri dada.
Tanda
Dispnea, takikardia
Batuk kering non-produktif
Tanda distres pernapasan, contoh peningkatan frekwensi pernapasan dan kedaalaman penggunaan otot bantu, stridor, sianosis.
Parau/paralisis laringeal (tekanan dari pembesaran nodus pada saraf laringeal).
• KEAMANAN
Gejala
Riwayat sering/adanya infeksi (abnormalitasimunitas seluler pwencetus untuk infeksi virus herpes sistemik, TB, toksoplasmosis atau infeksi bakterial)
Riwayat monokleus (resiko tinggi penyakit Hodgkin pada pasien yang titer tinggi virus Epstein-Barr).
Riwayat ulkus/perforasi perdarahan gaster.
Pola sabit adalah peningkatan suhu malam hari terakhir sampai beberapa minggu (demam pel Ebstein) diikuti oleh periode demam, keringat malam tanpa menggigil.
Kemerahan/pruritus umum
Tanda :
Demam menetap tak dapat dijelaskan dan lebih tinggi dari 38oC tanpa gejala infeksi.
Nodus limfe simetris, tak nyeri,membengkak/membesar (nodus servikal paling umum terkena, lebih pada sisi kiri daripada kanan, kemudian nodus aksila dan mediastinal)
Nodus dapat terasa kenyal dan keras, diskret dan dapat digerakkan.
Pembesaran tosil
Pruritus umum.
Sebagian area kehilangan pigmentasi melanin (vitiligo)
• SEKSUALITAS
Gejala
Masalah tentang fertilitas/ kehamilan (sementara penyakit tidak mempengaruhi, tetapi pengobatan mempengaruhi)
Penurunan libido.
• PENYULUHAN/PEMBELAJARAN
Gejala
Faktor resiko keluargaa (lebih tinggi insiden diantara keluarga pasien Hodgkin dari pada populasi umum)
Pekerjaan terpajan pada herbisida (pekerja kayu/kimia)

b. Diagnosa Keperawatan
1. Nyeri b.d agen cedera biologi
2. Hyperthermia b.d tidak efektifnya termoregulasi sekunder terhadap inflamasi
3. Ketidakseimbangan nutrisi ; kurang dari kebutuhan tubuh b.d mual, muntah
4. Kurang pengetahuan b.d kurang terpajan informasi
5. Resiko tinggi bersihan jalan nafas tidak efektif b.d pembesaran nodus medinal / edema jalan nafas.

c. Intervensi
1. Nyeri b.d agen cedera biologi
Tujuan : Setelah diberikan asuhan keperawatan diharapkan nyeri klien berkurang/hilang dengan KH :
1. Skala nyeri 0-3
2. Wajah klien tidak meringis
3. Klien tidak memegang daerah nyeri
Intervensi :
1. Kaji skala nyeri dengan PQRST
R : untuk mengetahui skala nyeri klien dan untuk mempermudah dalam menentukan intervensi selanjutnya
2. Ajarkan klien teknik relaksasi dan distraksi
R : teknik relaksasi dan distraksi yang diajarkan kepada klien, dapat membantu dalam mengurangi persepsi klien terhadap nyeri yang dideritanya
3. Kolaborasi dalam pemberian obat analgetik
R : obat analgetik dapat mengurangi atau menghilangkan nyeri yang diderita oleh klien

2. Hyperthermia b.d tidak efektifnya termoregulasi sekunder terhadap inflamasi
Tujuan : Setelah diberikan asuhan keperawatan diharapkan suhu tubuh klien turun / dalam keadaan normal dengan kriteria hasil :
1. suhu tubuh dalam batas normal (35,9-37,5 derajat celcius)
Intervensi :
2. Observasi suhu tubuh klien
R : dengan memantau suhu tubuh klien dapat mengetahui keadaan klien dan juga dapat mengambil tindakan dengan tepat
3. Berikan kompres hangat pada dahi, aksila, perut dan lipatan paha
R : kompres dapat menurunkan suhu tubuh klien
4. Anjurkan dan berikan minum yang banyak kepada klien (sesuai dengan kebutuhan cairan tubuh klien)
R : dengan banyak minum diharapkan dapat membantu menjaga keseimbangan cairan dalam tubuh klien
5. Kolaborasi dalam pemberian antipiretik
R : antipiretik dapat menurunkan suhu tubuh
3. Ketidakseimbangan nutrisi ; kurang dari kebutuhan tubuh b.d mual, muntah
Tujuan : Setelah diberikan asuhan keperawatan selam 3 x 24 jam diharapkan kebutuhan nutrisi klien dapat terpenuhi dengan criteria hasil :
1. Menunjukkan peningkatan berat badan/berat badan stabil
2. Nafsu makan klien meningkat
3. Klien menunjukkan perilaku perubahan pola hidup untuk mempertahankan berat badan yang sesuai
Intervensi :
1. Kaji riwayat nutrisi, termasuk makanan yang disukai
R : mengidentifikasi defisiensi nutrisi dan juga untuk intervensi selanjutnya
2. Observasi dan catat masukan makanan klien
R : mengawasi masukan kalori
3. Timbang berat badan klien tiap hari
R : mengawasi penurunan berat badan dan efektivitas intervensi nutrisi
4. Berikan makan sedikit namun frekuensinya sering
R : meningkatkan pemasukan kalori secara total dan juga untuk mencegah distensi gaster
5. Kolaborasi dalam pemberian suplemen nutrisi
R : meningkatkan masukan protein dan kalori
4. Kurang pengetahuan b.d kurang terpajan informasi
Tujuan : Setelah diberikan asuhan keperawatan sela 1 x 24 jam diharapkan diharapkan klien dan keluarganya dapat mengetahui tentang penyakit yang diderita oleh klien dengan criteria hasil :
1. Klien dan keluarga klien dapat memahami proses penyakit klien
2. Klien dan keluarga klien mendapatkan informasi yang jelas tentang penyakit yang diderita oleh klien
3. Klien dan keluarga klien dapat mematuhi proses terapiutik yang akan dilaksanakan
Intervensi :
1. Berikan komunikasi terapiutuk kepada klien dan keluarga klien
R : memudahkan dalam melakukan prosedur terpiutuk kepada klien
2. Berikan KIE mengenai proses penyakitnya kepada klien dan keluarga klien
R : klien dan keluarga klien dapat mengetahui proses penyakit yang diderita oleh klien
5. Resiko tinggi bersihan jalan nafas tidak efektif b.d pembesaran nodus medinal / edema jalan nafas.
Tujuan : Setelah diberikan asuhan keperawatan selam 3 x 24 jam diharapkan bersihan jalan nafas klien efektif/normal dengan criteria hasil :
1. Klien dapat bernafas dengan normal/efektif
2. Klien bebas dari dispnea, sianosis
3. Tidak terjadi tanda distress pernafasan

Intervensi :
1. Kaji frekuensi pernafasan, kedalaman, irama
R : perubahan dapat mengindikasikan berlanjutnya keterlibatan/pengaruh pernafasn yang membutuhkan upaya intervensi
2. Tempatkan pasien pada posisi nyaman, biasanya dengan kepala tempat tidur tinggi/atau duduk tegak ke depan kaki digantung
R : memaksimalkan ekspansi paru, menurunkan kerja pernafasan, dan menurunkan resiko aspirasi
3. Bantu dengan teknik nafas dalam dan atau pernafasan bibir /diafragma. Abdomen bila diindikasikan
R : membantu meningkatkan difusi gas dan ekspansi jalan nafas kecil, memberikan klien beberapa kontrol terhadap pernafasan, membantu menurunkan ansietas
4. Kaji respon pernafasan terhadap aktivitas
R : penurunan oksigenasi selular menurunkan toleransi aktivitas

d. Evaluasi
Setelah dilakukan tindakan keperawatan diharapkan :
1. Nyeri klien berkurang/hilang
2. Suhu klien dalam batas normal suhu tubuh dalam batas normal (35,9-37,5 derajat celcius)
3. Kebutuhan nutrisi klien dapat terpenuhi
4. Klien dan keluarganya dapat mengetahui tentang penyakit yang diderita oleh klien
5. Bersihan jalan nafas klien efektif/normal






BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang
Limfoma maligna (kanker kelenjar getah bening) merupakan bentuk keganasan dari sistem limfatik yaitu sel-sel limforetikular seperti sel B, sel T dan histiosit sehingga muncul istilah limfoma maligna (maligna = ganas). Ironisnya, pada orang sehat sistem limfatik tersebut justru merupakan komponen sistem kekebalan tubuh. Ada dua jenis limfoma maligna yaitu Limfoma Hodgkin (HD) dan Limfoma non-Hodgkin (LNH).
Saat ini, sekitar 1,5 juta orang di dunia hidup dengan limfoma maligna terutama tipe LNH, dan dalam setahun sekitar 300 ribu orang meninggal karena penyakit ini. Dari tahun ke tahun, jumlah penderita penyakit ini juga terus meningkat. Sekadar gambaran, angka kejadian LNH telah meningkat 80 persen dibandingkan angka tahun 1970-an. Data juga menunjukkan, penyakit ini lebih banyak terjadi pada orang dewasa dengan angka tertinggi pada rentang usia antara 45 sampai 60 tahun. Sedangkan pada Limfoma Hodgkin (DH) relative jarang dijumpai, hanya merupaka 1 % dari seluruh kanker. Di negara barat insidennya dilaporkan 3,5/100.000/tahun pada laki-laki dan 2,6/100.000/tahun pada wanita. Di Indonesia, belum ada laporan angka kejadian Limfoma Hodgkin. Penyakit limfoma Hodgkin banyak ditemukan pada orang dewasa muda antara usia 18-35 tahun dan pada orang di atas 50 tahun.
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, adapun rumusan permasalahan yang penulis angkat adalah sebagai berikut :
1. Bagaimanakah konsep dasar penyakit dari limfoma maligna ?
2. Bagaimanakah konsep dasar asuhan keperawatan pada pasien dengan limfoma maligna ?




1.3 Tujuan
Tujuan dari pada penulisan ini adalah :
1. Mengetahui konsep dasar penyakit dari limfoma maligna
2. Mengetahui konsep dasar asuhan keperawatan pada pasien dengn limfoma maligna


























BAB III
PENUTUP

Simpulan
Simpulan yang dapat diambil dalam pembuatan tulisan ini adalah :
1. Limfoma maligna (kanker kelenjar getah bening) merupakan bentuk keganasan dari sistem limfatik yaitu sel-sel limforetikular seperti sel B, sel T dan histiosit
2. Ada dua jenis penyakit yang termasuk limfoma malignum yaitu penyakit Hodgkin (PH) dan limfoma non Hodgkin (LNH).
3. Penyebab dari penyakit limfoma maligna masih belum diketahui dengan pasti..Empat kemungkinan penyebabnya adalah: faktor keturunan, kelainan sistem kekebalan, infeksi virus atau bakteria (HIV, virus human T-cell leukemia/lymphoma (HTLV), Epstein-Barr virus (EBV), Helicobacter Sp) dan toksin lingkungan (herbisida, pengawet dan pewarna kimia).

















KATA PENGANTAR

Puja dan puji syukur kami panjatkan kehadapan Tuhan Yang Maha Esa karena berkat rahmat-Nyalah kami dapat menyelesaikan tugas dengan judul ”Asuhan Keperawatan pada Pasien dengan Limfoma Maligna” ini tepat pada waktunya. Adapun tujuan dari penulisan ini adalah untuk memenuhi tugas mata kuliah Imunologi dan Hematologi.
Kami menyadari bahwa tulisan ini masih belum sempurna adanya, hal ini karena keterbatasan kemampuan yang kami miliki.Oleh karena itu kami sangat mengharapkan kritik dan saran dosen mata kuliah Imunologi dan Hematologi serta pembaca tulisan ini yang sifatnya membangun demi kesempurnaan tulisan ini dan kami harapkan tulisan ini ada manfaatnya bagi pembaca.



Denpasar, September 2009
Penyusun














DAFTAR PUSTAKA
Amori. 2007. Jurnal Nasional : Pengobatan tepat untuk Limfoma. www.jurnalnasional/limfoma/44356.com. Diakses pada tanggal 15 Oktober 2009.
Anonymous. 2006. Limfoma Maligna. www.wordpress.com. Diakses pada tanggal 15 Oktober 2009.
Carpenito, Lynda Juall. 2001. Buku Saku Diagnosa Keperawatan. Jakarta. : EGC

Doenges, Marilyn E, et all. 1993. Nursing Care Plans : Guidelines for Planning and
Documenting Patient Care, Edition 3, F.A. Davis Company, Philadelphia.

Hoffbrand, A.V, et all. 2002. Kapita Selekta Hematologi. Jakarta : EGC
Vinjamaran. 2007. Lymphoma, Non-Hodgkin. www.emedicine.com. Diakses pada tanggal 15 Oktober 2009.