Total Tayangan Halaman

Minggu, 17 Juli 2011

ASKEP PYTEREGIUM

1. Definisi
Pterigium adalah suatu timbunan atau benjolan pada selaput lendir atau konjungtiva yang bentuknya seperti segitiga dengan puncak berada di arah kornea. Timbunan atau benjolan ini membuat penderitanya agak kurang nyaman karena biasanya akan berkembang dan semakin membesar dan mengarah ke daerah kornea, sehingga bisa menjadi menutup kornea dari arah nasal dan sampai ke pupil, jika sampai menutup pupil maka penglihatan kita akan terganggu. Suatu pterygium merupakan massa ocular eksternal superficial yang mengalami elevasi yang sering kali terbentuk diatas konjungtiva perilimbal dan akan meluas ke permukaan kornea. Pterygia ini bisa sangat bervariasi, mulai dari yang kecil, jejas atrofik yang tidak begitu jelas sampai yang besar sekali, dan juga jejas fibrofaskular yang tumbuhnya sangat cepat yang bisa merusakkan topografi kornea dan dalam kasus yang sudah lanjut, jejas ini kadangkala bisa menutupi pusat optik dari kornea.2,5
Kondisi pterygium akan terlihat dengan pembesaran bagian putih mata, menjadi merah dan meradang. Dalam beberapa kasus, pertumbuhan bisa mengganggu proses cairan mata atau yang disebut dry eye syndrome. Sekalipun jarang terjadi, namun pada kondisi lanjut atau apabila kelainan ini didiamkan lama akan menyebabkan hilangnya penglihatan si penderita. Evakuasi medis dari dokter mata akan menentukan tindakan medis yang maksimal dari setiap kasus, tergantung dari banyaknya pembesaran pterygium. Dokter juga akan memastikan bahwa tidak ada efek samping dari pengobatan dan perawatan yang diberikan.2,5

pterygium 
  Pterygium

2. Epidemiologi
Di Amerika Serikat, kasus pterygium sangat bervariasi tergantung pada lokasi geografisnya. Di daratan Amerika serikat, Prevalensinya berkisar kurang dari 2% untuk daerah di atas 400 lintang utara sampai 5-15% untuk daerah garis lintang 280-360. Hubungan ini terjadi untuk tempat-tempat yang prevalensinya meningkat dan daerah-daerah elevasi yang terkena penyinaran ultraviolet untuk daerah di bawah garis lintang utara ini.
Di dunia, hubungan antara menurunnya insidensi pada daerah atas lintang utara dan relative terjadi peningkatan untuk daerah di bawah garis balik lintang utara.

3. Mortalitas/Morbiditas
Pterygium bisa menyebabkan perubahan yang sangat berarti dalam fungsi visual atau penglihatan bila kasusnya telah lanjut. Mata ini bisa menjadi inflamasi sehingga menyebabkan irritasi okuler dan mata merah.
Berdasarkan beberapa faktor diantaranya :
1.        Jenis Kelamin
Pterygium dilaporkan bisa terjadi pada golongan laki-laki dua kali lebih banyak dibandingkan wanita.
2.        Umur
Jarang sekali orang menderita pterygia umurnya di bawah 20 tahun. Untuk pasien umurnya diatas 40 tahun mempunyai prevalensi yang tertinggi, sedangkan pasien yang berumur 20-40 tahun dilaporkan mempunyai insidensi pterygia yang paling tinggi.
Pasien yang menderita pterygia sering mempunyai berbagai macam keluhan, yang mulai dari tidak ada gejala yang berarti sampai mata menjadi merah sekali, pembengkakan mata, mata gatal, iritasi, dan pandangan kabur disertai dengan jejas pada konjungtiva yang membesar dan kedua mata terserang penyakit ini.

4. Etiologi
Penyebab pterigium belum dapat dipahami secara jelas, diduga merupakan suatu neoplasma radang dan degenerasi. Namun, pterigium banyak terjadi pada mereka yang banyak menghabiskan waktu di luar rumah dan banyak terkena panas terik matahari. Faktor resiko terjadinya pterigium adalah tinggal di daerah yang banyak terkena sinar matahari, daerah yang berdebu, berpasir atau anginnya besar. Penyebab paling umum adalah exposure atau sorotan berlebihan dari sinar matahari yang diterima oleh mata. Ultraviolet, baik UVA ataupun UVB, dan angin (udara panas) yang mengenai konjungtiva bulbi berperan penting dalam hal ini. Selain itu dapat pula dipengaruhi oleh faktor2 lain seperti zat allegen, kimia dan zat pengiritasi lainnya. Pterigium Sering ditemukan pada petani, nelayan dan orang-orang yang tinggal di dekat daerah khatulistiwa. Jarang menyerang anak-anak.

5. Patofisiologi
Patofisiologi pterygium ditandai dengan degenerasi elastotik kolagen dan ploriferasi fibrovaskular, dengan permukaan yang menutupi epithelium, Histopatologi kolagen abnormal pada daerah degenerasi elastotik menunjukkan basofilia bila dicat dengan hematoksin dan eosin. Jaringan ini juga bisa dicat dengan cat untuk jaringan elastic akan tetapi bukan jaringan elastic yang sebenarnya, oleh karena jaringan ini tidak bisa dihancurkan oleh elastase.
Secara histopalogis ditemukan epitel konjungtiva irrekuler kadang-kadang berubah menjadi gepeng. Pada puncak pteregium, epitel kornea menarik dan pada daerah ini membran bauman menghilang. Terdapat degenerasi stauma yang berfoliferasi sebagai jaringan granulasi yang penuh pembulih darah. Degenerasi ini menekan kedalam kornea serta merusak membran bauman dan stoma kornea bagian atas.

6. Manifestasi Klinis
·   Mata irritatatif, merah dan mungkin menimbulkan astigmatisme
·   Kemunduran tajam penglihatan akibat pteregium yang meluas ke kornea (Zone Optic)
·   Dapat diserati keratitis Pungtata, delen (Penipisan kornea akibat kering) dan garis besi yang terletak di ujung pteregium.

7. Klasifikasi dan Grade
- Klasifikasi Pterygium:
1.  Pterygium Simpleks; jika terjadi hanya di nasal/ temporal saja.
2.  Pterygium Dupleks; jika terjadi di nasal dan temporal.

- Grade pada Pterygium :
·    Grade 1      : tipis (pembuluh darah konjungtiva yang menebal dan konjungtiva sklera masih dapat dibedakan),                           pembuluh darah sklera masih dapat dilihat.
·     Grade 2        : pembuluh darah sklera masih dapat dilihat.
·     Grade 3        : resiko kambuh, ngganjel, hiperemis, pada orang muda (20-30 tahun), mudah kambuh.

8. Diagnosis Banding
Diagnosis banding dari pterygium adalah pseudopterygium, pannus dan kista dermoid.

9. Diagnosis
- Pemeriksaan Fisik
Pterygium bisa berupa berbagai macam perubahan fibrofaskular pada permukaan konjungtiva dan pada kornea. Penyakit ini lebih sering menyerang pada konjungtiva nasal dan akan meluas ke kornea nasal meskipun bersifat sementara dan juga pada lokasi yang lain.

Gambaran klinis bisa dibagi menjadi 2 katagori umum, sebagai berikut :
1.   Kelompok kesatu pasien yang mengalami pterygium berupa ploriferasi minimal dan penyakitnya lebih bersifat atrofi. Pterygium pada kelompok ini cenderung lebih pipih dan pertumbuhannya lambat mempunyai insidensi yang lebih rendah untuk kambuh setelah dilakukan eksisi.
2.  Pada kelompok kedua pterygium mempunyai riwayat penyakit tumbuh cepat dan terdapat komponen elevasi jaringan fibrovaskular. Ptrerygium dalam grup ini mempunyai perkembangan klinis yang lebih cepat dan tingkat kekambuhan yang lebih tinggi untuk setelah dilakukan eksisi.

10. Faktor Resiko
Yang pasti belum di ketahui dengan jelas, namun banyak di jumpai di daerah pantai sehingga kemungkinan pencetusnya adalah adanya rangsangan dari udara panas, juga bagi orang yang sering berkendara motor tapa helm penutup atau kacamata pelindung, sehingga adanya rangsangan debu jalanan yang kotor bisa mengakibatkan timbunan lemak tersebut. Secara umum faktor resiko pterygium meliputi:
·    Meningkatnya terkena sinar ultraviolet, termasuk tinggal di daerah yang beriklim subtropis dan tropis. Melakukan pekerjaan dan memerlukan kegiatan di luar rumah.
·    Faktor predisposisi genetika timbulnya pterygia cenderung pada keluarga tertentu. Kecenderungan laki-laki mengalami kasus ini lebih banyak dibandingkan dengan perempuan, meskipun disini hasil temuan demikian ini lebih banyak disebabkan oleh peningkatan terkena sinar ultraviolet dalam kelompok populasi tertentu.
Gangguan yang lain yang mungkin ikut berperan yaitu berupa Pseudopterygia (misalnya disebabkan oleh bahan kimia atau luka bakar, trauma, penyakit kornea marginal). Neoplasma (misalnya karsinoma in situ yang menyebabkan konjungtiva perilimbal yang tidak meluas sampai ke kornea).

11. Penatalaksanaan
Pterygium sering bersifat rekuren, terutama pada pasien yang masih muda. Bila pterygium meradang dapat diberikan steroid atau suatu tetes mata dekongestan. Pengobatan pterygium adalah dengan sikap konservatif atau dilakukan pembedahan bila terjadi gangguan penglihatan akibat terjadinya astigmatisme ireguler atau pterygium yang telah menutupi media penglihatan.
Lindungi mata dengan pterygium dari sinar matahari, debu dan udara kering dengan kacamata pelindung. Bila terdapat tanda radang berikan air mata buatan dan bila perlu dapat diberi steroid. Bila terdapat delen (lekukan kornea) beri air mata buatan dalam bentuk salep. Bila diberi vasokontriktor maka perlu kontrol 2 minggu dan bila terdapat perbaikkan maka pengobatan dihentikan.

- Tindakan Operatif
Tindakan pembedahan adalah suatu tindak bedah plastik yang dilakukan bila pterygium telah mengganggu penglihatan. Pterygium dapat tumbuh menutupi seluruh permukaan kornea atau bola mata.
Tindakan operasi, biasanya bedah kosmetik, akan dilakukan untuk mengangkat pterygium yang membesar ini apabila mengganggu fungsi penglihatan atau secara tetap meradang dan teriritasi. Paska operasi biasanya akan diberikan terapi lanjut seperti penggunaan sinar radiasi B atau terapi lainnya.

Jenis Operasi pada Pterygium antara lain :
1    Bare Sklera
Pterygium diambil, lalu dibiarkan, tidak diapa-apakan. Tidak dilakukan untuk pterygium progresif karena dapat terjadi granuloma → granuloma diambil kemudian digraph dari amnion.
  Subkonjungtiva
Pterygium setelah diambil kemudian sisanya dimasukkan/disisipkan di bawah konjungtiva bulbi → jika residif tidak masuk kornea.
3    Graf
Pterygium setelah diambil lalu di-graf dari amnion/selaput mukosa mulut/konjungtiva forniks.
Tindakan pembedahan untuk eksisi pterygium biasanya bisa dilakukan pada pasien rawat jalan dengan menggunakan anastesi topikal ataupun lokal, bila diperlukan dengan memakai sedasi. Perawatan pasca operasi, mata pasien biasanya merekat pada malam hari, dan dirawat memakai obat tetes mata atau salep mata antibiotika atau antiinflamasi.

- Kategori Terapi Medikamentosa
a.   Pemakaian air mata artifisial (obat tetes topikal untuk membasahi mata) untuk membasahi permukaan okular dan untuk mengisi kerusakan pada lapisan air mata.

Nama obat
Merupakan obat tetes mata topikal atau air mata artifisial (air mata penyegar, Gen Teal (OTC)—air mata artifisial akan memberikan pelumasan pada permukaan mata pada pasien dengan permukaan kornea yang tak teratur dan lapisan permukaan air mata yang tak teratur. Keadaan ini banyak terjadi pada keadaan pterygium.
Dosis dewasa
1 gtt empat kali sehari dan prn untuk irritasi
Dosis anak-anak
Berikan seperti pada orang dewasa
Kontra indikasi
Bisa menyebabkan hipersensitivitas
Interaksi
Tak ada (tak pernah dilaporkan ada interaksi )
Untuk ibu hamil
Derajat keamanan A untuk ibu hamil
Perhatian
Bila gejala masih ada dan terus berlanjut pemakaiannya

b.  Salep untuk pelumas topikal – suatu pelumas yang lebih kental pada permukaan okular

Nama obat
Salep untuk pelumas mata topikal (hypotears,P.M penyegar (OTC). Suatu pelumas yang lebih kental untuk permukaan mata. Sediaan ini cenderung menyebabkan kaburnya penglihatan sementara; oleh karena itu bahan ini sering dipergunakan pada malam hari.
Dosis obatnya
Pergunakan pada cul de sac inferior pada mata yang terserang. Hs
Dosis anak-anak
Sama dengan dewasa
Kontra indikasi
Bisa menyebabkan terjadinya hipersensitivitas
Interaksi
Tidak ada
Untuk ibu hamil
Tingkat keamanan A untuk ibu hamil
Perhatian
Karena menyebabkan kabur penglihatan sementara dan harus menghindari aktivitas yang memerlukan penglihatan jelas sampai kaburnya hilang.

c.   Obat tetes mata anti – inflamasi – untuk mengurangi inflamasi pada permukaan mata dan jaringan okular lainnya. Bahan kortikosteroid akan sangat membantu dalam penatalaksanaan pterygium yang inflamasi dengan mengurangi pembengkakan jaringan yang inflamasi pada permukaan okular di dekat jejasnya.

Nama obat
Prednisolon asetat (Pred Forte 1%) – suatu suspensi kortikosteroid topikal yang dipergunakan untuk mengu-rangi inflamasi mata. Pemakaian obat ini harus dibatasi untuk mata dengan inflamasi yang sudah berat yang tak bisa disembuhkan dengan pelumas topikal lain.
Dosis dewasa
1 gtt empat kali sehari pada mata yang terserang, biasanya hanya 1- 2 minggu dengan terapi yang terus menerus.
Dosis anak-anak
Tidak boleh dipergunakan untuk anak-anak oleh karena kasus pterygia sangat jarang pada anak-anak
Kontra indikasi
Pasien dengan riwayat kasus herpes simpleks keratitis dentritis atau glaukoma steroid yang responsif.
Interaksi
Tak ada laporan interaksi
Kehamilan
Tingkat keamanan B, biasanya aman akan tetapi kegunaannya harus di perhitungkan dengan resiko yang di akibatkan
Perhatian
Bisa diserap secara sistemik akan tetapi efek samping sistemik biasanya tak diketemukan pada pasien yang mempergunakan obat tetes mataprednisolon asetat topikal , yang bisa diekskresi pada ASI yang sedang menyusui.

- Perawatan Lanjut pada Pasien Rawat Jalan
Sesudah operasi, eksisi pterygium, steroid topikal pemberiannya lebih di tingkatkan secara perlahan-lahan. Pasien pada steroid topikal perlu untuk diamati, untuk menghindari permasalahan tekanan intraocular dan katarak.

- Pencegahan Kekambuhan Pterygium
Secara teoritis, memperkecil terpapar radiasi ultraviolet untuk mengurangi resiko berkembangnya pterygia pada individu yang mempunyai resiko lebih tinggi. Pasien di sarankan untuk menggunakan topi yang memiliki pinggiran, sebagai tambahan terhadap radiasi ultraviolet sebaiknya menggunakan kacamata pelindung dari cahaya matahari. Tindakan pencegahan ini bahkan lebih penting untuk pasien yang tinggal di daerah subtropis atau tropis, atau pada pasien yang memiliki aktifitas di luar, dengan suatu resiko tinggi terhadap cahaya ultraviolet (misalnya, memancing, ski, berkebun, pekerja bangunan). Untuk mencegah berulangnya pterigium, sebaiknya para pekerja lapangan menggunakan kacamata atau topi pelindung.

12. Komplikasi
Komplikasi dari pterygium meliputi sebagai berikut:
  • Penyimpangan atau pengurangan pusat penglihatan
  • Kemerahan
  • Iritasi
  • Bekas luka yang kronis pada konjungtiva dan kornea
Keterlibatan yang luas otot extraocular dapat membatasi penglihatan dan memberi kontribusi terjadinya diplopia. Bekas luka yang berada ditengah otot rektus umumnya menyebabkan diplopia pada pasien dengan pterygium yang belum dilakukan pembedahan. Pada pasien dengan pterygia yang sudah diangkat, terjadi pengeringan focal kornea mata akan tetapi sangat jarang terjadi.
Komplikasi postooperasi pterygium meliputi:
  • Infeksi
  • Reaksi material jahitan
  • Diplopia
  • Conjungtival graft dehiscence
  • Corneal scarring
  • Komplikasi yang jarang terjadi meliputi perforasi bola mata perdarahan vitreous, atau retinal detachment.
Komplikasi akibat terlambat dilakukan operasi dengan radiasi beta pada pterygium adalah terjadinya pengenceran sclera dan kornea. Sebagian dari kasus ini dapat memiliki tingkat kesulitan untuk mengatur.

13. Prognosis
Eksisi pada pterygia pada penglihatan dan kosmetik adalah baik. Prosedur baik saat dipahami oleh pasien dan pada awal operasi pasien akan merasa terganggu setelah 48 jam pasca perawatan pasien bisa memulai aktivitasnya. Pasien dengan pterygia yang kambuh lagi dapat mengulangi pembedahan eksisi dan pencangkokan, kedua-duanya dengan konjungtival limbal autografts atau selaput amniotic, pada pasien yang telah ditentukan. Pasien yang ada memiliki resiko tinggi pengembangan pterygia atau karena di perluas ekspose radiasi sinar ultraviolet, perlu untuk dididik penggunaan kacamata dan mengurangi ekspose mata dengan ultraviolet.



Daftar Pustaka
1.    Junqueira, L Carlos. 1998. Histologi Dasar. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC.
2.   Coroneo MT, Di Girolamo N, Wakefield D: The Pathogenesis of Pterygium. Curr Opin Ophthalmol 1999 Aug; 10(4): 282-8 [Medline].
3.   Whitcher J.P., Pterygium, 2007, http://www.emedicine.com/EMERG/topic284.htm
4.  Ferrer F.J.G., Schwab I.R., Shetlar D.J., 2000. Vaughan & Asbury’s General Ophthalmology (16th edition), Mc Graw-Hill Companies, Inc., United States
5.   Ilyas S., 2005, Ilmu Penyakit Mata, Balai Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia
6.  Misbach J., 1999. Neuro-Oftalmologi Pemeriksaan Klinis dan Interpretasi. Jakarta : Balai Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia
7.   Hartono, 2005. Ringkasan Anatomi dan Fisiologi Mata. Jogjakarta. Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah Mada

ASKEP Hordeolum


PENGERTIAN

Hordeolum adalah suatu peradangan supuratif kelenjar Zeis, kelenjar Moll (hordeolum eksterternum) atau kelenjar Meibom (Hordeolum internum).

Hordeolum (Stye) adalah suatu infeksi pada satu atau beberapa kelenjar di tepi atau di bawah kelopak mata.

Bisa terbentuk lebih dari 1 hordeolum pada saat yang bersamaan.
Hordeolum biasanya timbul dalam beberapa hari dan bisa sembuh secara spontan.

 
PENYEBAB
Infeksi:

  •  stafilokokus
  • -moraxella


Hordeolum adalah infeksi akut pada kelenjar minyak di dalam kelopak mata yang disebabkan oleh bakteri dari kulit (biasanya disebabkan oleh bakteri stafilokokus).
Hordeolum sama dengan jerawat pada kulit.

Hordeolum kadang timbul bersamaan dengan atau sesudah blefaritis.
Hordeolum bisa timbul secara berulang.


PATOFISIOLOGI

  • Pembentukan nanah terdapat dalam lumen kelenjar
  • Bisa mengenai kelenjar Meibom, Zeis, dan Moll
  • Apabila mengenai kelenjar Meibom, pembengkakan agak besar, disebut hordeolum internum.
  • Penonjolan pada hordeolam ini mengarah kekulit kelopak mata atau kearah konjungtiva. Kalau yang terkena kelenjar Zeis dan Moll; penonjolan kearah kulit palpebra, disebut hordeolum ekstenum.

GEJALA KLINIS
  • Gejala subyektif dirasakan mengganjal pada kelopak mata rasa sakit yang bertambah kalau menunduk, dan nyeri bila ditekan.
  • Gejala obyektif tampak suatu benjolan pada kelopak mata atas/bawah yang berwarna merah dan sakit bila ditekan didekat pangkal bulu mata.
  • Secara umum gambaran ini sesuai dengan suatu abses kecil.
Hordeolum biasanya berawal sebagai kemerahan, nyeri bila ditekan dan nyeri pada tepi kelopak mata.
Mata mungkin berair, peka terhadap cahaya terang dan penderita merasa ada sesuatu di matanya.

Biasanya hanya sebagian kecil daerah kelopak yang membengkak, meskipun kadang seluruh kelopak membengkak.
Di tengah daerah yang membengkak seringkali terlihat bintik kecil yang berwarna kekuningan.

Bisa terbentuk abses (kantong nanah) yang cenderung pecah dan melepaskan sejumlah nanah.

Hardeolum terbagi atas 2 jenis yaitu 

1. Hordeolum eksternum
Adalah infeksi yang terjadi dekat kelenjar zeis dan Moll,tempat keluarnya bulu mata(pada batas palpebra dan bulu mata).

2. Hordeolum internum
Adalah infeksi pada kelenjar meibom sebasea. hordeolum yang terbentuk pada kelenjar yang lebih dalam. Gejalanya lebih berat dan jarang pecah sendiri, karena itu biasanya dokter akan menyayatnya supaya nanah keluar.

intervensi bedah:
Insisi hordeolum dilakukan jika tidak membaik dalam 48 jam,pada hordeolum internum,insisi dilakukan secara vertical pada permukaan konjungtiva untuk menghindari terpotongnya kelenjar meibom yang lain,sedangkan pada hordeolum eksternum dibuat sayatan horizontal pada kulit sesuai dengan lipatan kulit untuk mengurangi luka parut sehingga tetap baik secara kosmetik.

PENGOBATAN

  • Kompres hangat selama 10 - 15 menit, 3 - 4 kali sehari.
  • Antibiotika topikal (neomycin, polirnyxin B, gentamycin) selama 7 -10 hari, bila dipandang perlu dapat ditambahkan antibiotika sistemik, misal Ampisillin 4 x 250 mg per-ora/hari.
  • Bila tidak terjadi resorbsi dengan pengobatan konservatif dianjurkan insisi.
  • Perbaikan higiene dapat mencegah terjadinya infeksi kembali.

Tindakan prainsisi:

· Buat klien nyaman
· Jika klien gelisah berikan penyuluhan kesehatan dan perawat tetap berada di samping klien

Tindakan pascainsisi:
· Tutup mata dengan bebat berat
· Beritahu keluarga cara membuka bebat
· Observasi kurang lebih1/2jam sebelum pulang
· Tutup mata dan bebat dibiarkan di tempatnya kira-kira 4 jam,kemudian di buka secara hati-hati dan mata di kompres dengan salin hangat secara hati-hati.
· Mata mungkin tampak memar sehingga anjurkan klien untuk memakai kacamata

CARA INSISI

  • Diberikan anestesi setempat dengan tetes mata Pantokain.
  • Kalau perlu diberikan anestesi umum, misal pada anak-anak atau orang-orang yang sangat takut sebelum diberi anestesi umum.
  • Untuk lokal anestesi bisa dipakai prokain 2% dilakukan secara infiltratif dan tetes mata Pantocain 2%.
  • Pada hordeolum internum insisi dilakukan pada konjungtiva, kearah muka dan tegak lurus terhadapnya (vertikal) untuk menghindari banyaknya kelenjar-kelenjar yang terkena.
  • Pada bordeolum ekstrnum arah insisi horisontal sesuai dengan lipatan kulit.

PENYULIT
  • Suatu hordeolum yang besar dapat menimbulkan abses palpebra dan selulitis palpebra.

PERAWATAN
Pengkajian
·        Umur
·        Klien mengeluh nyeri
·        Pemeriksaan Edema atau Tonjolan

     Diagnosis dan Intervensi Keperawatan
     
1 1). Gangguan rasa nyaman (nyeri) yang berhubungan dengan pembengkakan pelpepra akibat   proses peradangan yang ditandai dengan klien mengeluh nyeri pada tepi kelopak mata, tepi kelopak mata merah, bengkak dan terdapat tonjolan.
      
      Intervensi keperawatn :
·         a. Ajarkan klien cara melakukan kompres air hangat pada tepi palpebra dan beritahu klien agar mengkompres tepi palpebral selama 20 menit, 3-4 kali sehari.
Rasional : Mempercepat supurasi sehingga material purulen dapat keluar dan nyeri reda.
·          b. Pada klien wanita, beritahu agar tidak memakai tata rias (khususnya tata rias mata) untuk sementara.
Rasional : Mengurangi Iritasi. 
c.  Kolaborasi :
* Antibiotika salep setiap 3 jam setelah pemberian kompres hangat
* Antibiotika sistemik yang diindikasikan jika terjadi selulitis
* Insisi. Rasional : Mengeluarkan (drainase) material purulen.

2). Gangguan konsep diri (citra tubuh) yang berhubungan dengan perubahan bentuk kelopak mata yang memengaruhi penampilan klien.

Intervensi keperawatan :
·             1.   Beritahu klien bahwa penyakitnya bisa disembuhkan.
·             2.   Anjurkan klien untuk melaksanakan anjuran yang telah diberikan (kompres hangat dan  penggunaan antibiotika) secara tertur. 
       3· Beritahu klien bahwa salep mata dapat membuat pandangan kabur.
     Rasional :Menguragi kecemasan klien.
       4. Bertahu klien, jangan pernah menekan pembengkakan.
     Rasional : dapat menyebarkan infeksi.
·            5.Beritahu klien untuk meningkatkan status kesehatan. 
           Rasional : Buruknya status kesehatan merupakan predisposisi berulang hordeolum.

ASKEP CA MULUT

Askep Tumor Pada Mulut

A. Defenisi
Secara anatomi Tumor Pada Mulut dibagi atas tiga bagian yaitu supra glotik, tumor pad plika ventrikularis, aritenoid, epiglotis dan sinus piriformis (Glotis : tumor pada korda vokalis , Subglotis : tumor dibawah korda vokalis).
B. Patofisiologi
Karsinoma laring banyak dijumpai pada usia lanjut diatas 40 tahun. Kebanyakan pada orang laki-laki.Hal ini mungkin berkaitan dengan kebiasaan merokok, bekerja dengan debu serbuk kayu, kimia toksik atau serbuk, logam berat. Bagaimana terjadinya belum diketahui secara pasti oleh para ahli.Kanker kepala dan leher menyebabkan 5,5% dari semua penyakit keganasan.Terutama neoplasma laringeal 95% adalah karsinoma sel skuamosa.Bila kanker terbatas pada pita suara (intrinsik) menyebar dengan lambat.Pita suara miskin akan pembuluh limfe sehingga tidak terjadi metastase kearah kelenjar limfe.Bila kanker melibatkan epiglotis (ekstrinsik) metastase lebih umum terjadi.Tumor supraglotis dan subglotis harus cukup besar, sebelum mengenai pita suara sehingga mengakibatkan suara serak.Tumor pita suara yang sejati terjadi lebih dini biasanya pada waktu pita suara masih dapat digerakan.
C.Gambaran klinik
Paling dini adalah berupa suara parau atau serak kronik, tidak sembuh-sembuh walaupun penderita sudah menjalani pengobatan pada daerah glotis dan subglotis. Tidak seperti suara serak laringitis, tidak disertai oleh gejala sistemik seperti demam.Rasa tidak enak ditenggorok, seperti ada sesuatu yang tersangkut. Pada fase lanjut dapat disertai rasa sakit untuk menelan atau berbicara.Sesak napas terjadi bila rima glotis tertutup atau hampir tertutup tumor 80%. Sesak napas tidak timbul mendadak tetapi perlahan-lahan. Karena itu penderita dapat beradaptasi, sehingga baru merasakan sesak bila tumor sudah besar (terlambat berobat). Stridor terjadi akibat sumbatan jalan napas.Bila sudah dijumpai pembesaran kelenjar berarti tumor sudah masuk dalam stadium lanjut.Bahkan kadang-kadang tumornya dapat teraba, menyebabkan pembengkakan laring.
Bila tumor laring mengadakan perluasan ke arah faring akan timbul gejala disfagia, rasa sakit bila menelan dan penjalaran rasa sakit kearah telinga.Apabila dijumpai kasus dengan jelas diatas, khususnya dengan keluhan suara parau lebih dari dua minggu yang dengan pengobatan tidak sembuh, diderita orang dewasa atau tua, sebaiknya penderita segera dirujuk

a. Tumor Pada Mulut
Tumor jinak laring tidak banyak ditemukan, hanya kurang lebih 5 % dari semua jenis tumor mulut.
Tumor mulut dapat berupa :
1. Papiloma laring (terbanyak frekuensi)
2. Adenoma
3. Kondroma
4. Mioblastoma sel granuler
5. Hemangioma
6. Lipoma
7. Neurofibroma
PAPILOMA MULUT
Tumor ini dapat digolongkan dalam 2 jenis :
1. Papiloma laring juvenil, ditemukan pada anak, biasanya berbentuk multipel dan mengalami regresi pada waktu dewasa.
2. Pada orang dewasa biasanya berbentuk tunggal, tidak akan mengalami resolusi dan merupakan prekanker.
Bentuk Juvenil
Tumor ini dapat tumbuh pada pita suara bagian anterior atau daerah subglotik. Dapat pula tumbuh di plika ventrikularis atau aritenoid. Secara makroskopik bentuknya seperti buah murbei berwarna putih kelabu dan kadang-kadang kemerahan. Jaringan tumor ini sangat rapuh dan kalau dipotong tidak menyebabkan perdarahan. Sifat yang menonjol dari tumor ini adalah sering tumbuh lagi setelah diangkat, sehingga operasi pengangkatan harus dilakukan berulang-ulang.
• Gejala
Gejala papiloma laring yang utama ialah suara parau. Kadang-kadang terdapat pula batuk. Apabila papiloma telah menutup rima glotis maka timbul sesak nafas dengan stridor.
Pemeriksaan Penunjang
1. Pemeriksaan laring langsung
2. Biopsi
3. Pemeriksaan patologi anatomi.
• Terapi
 Ekstirpasi papiloma dengan bedah mikro atau dengan sinar laser. Oleh karena sering tumbuh lagi, maka tindakan ini diulangi berkali-kali. Kadang-kadang dalam seminggu sudah tampak papiloma yang tumbuh lagi.
 Terapi terhadap penyebabnya belum memuaskan, karena sampai sekarang etiologinya belum diketahui dengan pasti.
 Untuk terapinya diberikan juga vaksin daari massa tumor, obat anti virus, hormon, kalsium, atau ID methionin (essential aminoacid).
Tidak dianjurkan memberikan radioterapi oleh karena papiloma dapat berubah menjadi ganas. Sekarang tersangka penyebabnya ialah virus, tetapi pada pemeriksaan dengan mikroskop elektron inclusion body tidak ditemukan.

C. TUMOR GANAS MULUT
Keganasan di laring bukanlah hal yang jarang ditemukan dan masih merupakan masalah, karena penanggulangannya mencakup berbagai segi. Penatalaksanaan keganasan di laring tanpa memperhatikan bidang rehabilitasi belumlah lengkap.
1. Etiologi
Etiologi karsinoma laring belum diketahui dengan| pasti. Dikatakan oleh para ahli bahwa perokok dan peminum alkohol merupakan kelompok orang-orang dengan resiko tinggi terhadap karsinoma laring. Penelitian epidemiologik menggambarkan beberapa hal yang diduga menyebabkan terjadinya karsinoma laring yang kuat ialah rokok, alkohol dan terpapar oleh sinar radioaktif.
Pengumpulan data yang dilakukan di RSCM menunjukkan bahwa karsinoma laring jarang ditemukan pada orang yang tidak merokok, sedangkan resiko untuk mendapatkan karsinoma laring naik, sesuai dengan kenaikan jumlah rokok yang dihisap. Yang terpenting pada penanggulangan karsinoma laring adalah diagnosis dini dan pengobatan /tindakan yang tepat dan kuratif, karena tumornya masih terisolasi dan dapat diangkat secara radikal. Tujuan utama ialah mengeluarkan bagian laring yang terkena tumor dengan memperhatikan fungsi respirasi, fonasi serta fungsi sfingter laring.
2. Klasifikasi letak tumor
Tumor supraglotik terbatas pada daerah mulai daari tepi atas epislotis sampai batas bawah glotis termasuk pita suara palsu dan ventrikel laring.
Tumor glotik mengenaai pita suara asli. Batas inferior glotik adalah 10 mm di bawah tepi bebas pita suara, 10 mm merupakan batas inferior otot-otot intrinsik pita suara. Batas superior adalah ventrikel laring. Oleh karena itu tumor glotik dapat mengenai 1 aatau ke dua pitaaa suara, dapat meluas ke sub glotik sejauh 10 mm, dan dapat mengenai komisura anterior atau posterior ataau prossesus vokalis kartilago aritenoid.
Tumor sub glotik tumbuh lebih dari 10 mm di bawah tepi bebas pita suara asli sampai batas inferior krikoid. Tumor ganas transglotik adalah tumor yang menyebrangi ventrikel mengenai pita suara asli dan pita suara palsu, atau meluas ke subglotik lebih dari 10 mm.
3. Manifestasi Klinis
1. Serak
Serak adalah gejala utama karsinoma laring, merupakan gejala paling dini tumor pita suara. Hal ini disebabkan karena gangguan fungsi fonasi laring. Kualitas nada sangaat dipengaruhi oleh besar celah glotik, besar pita suara, kecepatan getaran dan ketegangan pita suaara. Pada tumor ganas laring, pita suara gagal befungsi secara baik disebabkan oleh ketidak teraturan pita suara, oklusi atau penyempitan celah glotik, terserangnya otot-otot vokalis, sendi dan ligamen rikoaritenoid, dan kadang-kadang menyerang syaraf. Adanya tumor di pita suara akan mengganggu gerak maupun getaran kedua pita suara tersebut. Serak menyebabkan kualitas suara menjadi kasar, mengganggu, sumbang dan nadanya lebih rendah dari biasa. Kadang-kadang bisa afoni karena nyeri, sumbatan jalan nafas atau paralisis komplit.
Hubungan antara serak dengan tumor laring tergantung letak tumor. Apabila tumor tumbuh pada pita suara asli, serak merupakan gejala dini dan mnetap. Apabila tumor tumbuh di daerah ventrikel laring, di bagian bawah plika ventrikularis atau di batas inferior pita suara serak akan timbul kemudian. Pada tumor supraglotis dan subglotis, serak dapat merupakan gjala akhir atau tidak timbul sama sekali. Pada kelompok ini, gejala pertama tidak khas dan subjektif seperti perasaan tidak nyaman, rasa ada yang mengganjal di tenggorok. Tumor hipofarig jarang menimbulkan serak, kecuali tumornya eksentif. Fiksasi dan nyeri menimbulkan suara bergumun (hot potato voice).
2. Dispneu dan stridor.
Gejala ini merupakan gejala yang disebabkan oleh sumbatan jalan nafas dan dapat timbul pada tiap tumor laring. Gejala ini disebabkan oleh gangguan jalan nafas oleh massaa tumor, penumpukkan kotoran atau sekret,maupun oleh fiksasi pita suara. Pada tumor supraglotik atau transglotik terdapat dua gejala tersebut. Sumbatan dapat terjaadi secara perlahan-lahan dapat dikompensasi oleh pasien. Pada umumnya dispneu dan stridor adalah tanda dan prognosis kurang baik.
3. Nyeri tenggorok.
Keluhan ini dapat bervariasi dari rasa goresan sampai rasa nyeri yang tajam.
Disfagia adalah ciri khas tumor pangkal lidah, supraglotik, hipofaring dan sinus piriformis. Keluhan ini merupakan keluhan yang paling sering pada tumior ganas postkrikoid. Rasa nyeri ketika menelan (odinofagi) menandakan adanya tumor ganas lanjut yang mengenai struktur ekstra laring.

4. Batuk dan hemoptisis.
Batuk jarang ditemukan pada tumor ganas glotik, biasanya timbul dengan tertekannya hipofaring disertai sekret yang mengalir ke dalam laring. Hemoptisis sering terjadi pada tumor glotik dan supraglotik.
5. Gejala lain berupa nyeri alih ke telinga ipsilateral, halitosis, batuk hemoptisis dan penurunan berat badan menandakan perluasan tumor ke luar jaringan atau metastase lebih jauh.
6. Pembesaran kelenjar getah bening leher dipertimbangkan sebagai metastasis tumor ganas yang menunjukkan tumor pada stadium lanjut.
7. Nyeri tekan laring adalah gejala lanjut yang disebabkan oleh komplikasi supurasi tumor yang menyerang kaartilago tiroid dan perikondrium.

3. Pemeriksaan Penunjang
Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan klinis.
Pemeriksaan laring dapat dilakukan dengan cara tidak langsung menggunakan kaca laring atau langsung dengan mengguinakkn laringoskop. Pemeriksssaan penunjang yang diperlukan selain pemeriksaan laboratorium darah, juga pemeriksaan radiologik. Foto thorak diperlukan untuk menilai keadaan paru, ada tidaknya proses spesifik dan metastasis di paru. CT Scan laring dapat memperlihatkan keadaan tumor pada tulang rawan tiroid adan daerah pre-epiglotis serta metastasis kelenjar getah beningleher.
Diagnosis paasti ditegakkan dengan pemeriksaan patologik anatomik dari bahan biopsi laring, dan biopsi jarum halus pada pembesaran kelenjar getah bening di leher. Hasil atologi anatomik yang terbanyak adalah karsinoma sel skuamosa.
KLASIFIKASI TUMOR GANAS MULUT
TUMOR PRIMER
SUPRAGLOTIS
Tis Karsinoma insitu
• T1 Tumor terdapat pada satu sisi suara/pita suara palsu (gerakan masih baik).
• T2 Tumor sudah menjalar ke 1 dan 2 sisi daaerah supra glotis dan glotis masih bisa bergerak (tidak terfiksir)
• T3 Tumor terbatas pada laring dan sudah terfiksir atau meluas ke daerah krikoid bagian belakang, dinding medial daari sinus piriformis, dan arah ke rongga pre epiglotis.
• T4 Tumor sudah meluas ke luar laring, menginfiltrasi orofaring jaringan lunak pada leher atau sudah merusak tulang rawan tiroid.


GLOTIS
Tis Karsinoma insitu.
• T1 Tumor mengenai satu atau dua sisi pita suara, tetapi gerakan pita suara masih baik, atau tumor sudah terdapat pada komisura anterior atau posterior.
• T2 Tumor meluas ke daerah supraglotis atau subglotis, pita suara masih dapat bergerak atau sudah terfiksir (impaired mobility).
• T3 Tumor meliputi laring dan pita suara sudah terfiksir.
• T4 Tumor sangat luas dengan kerusakan tulang rawan tiroid atau sudah keluar dari laring.
SUBGLOTIS
Tis karsinoma insitu
• T1 Tumor terbatas pada daerah subglotis.
• T2 Tumor sudah meluas ke pita, pita suara masih dapat bergerak atau sudah terfiksir
• T3 Tumor sudah mengenai laring dan pita suara sudah terfiksir
• T4 Tumor yang luas dengan destruksi tulang rawan atau perluasan keluar laring atau kedua-duanya.
Penjalaran ke kelenjar limfa (N)
1. Nx Kelenjaar limfa tidak teraba N0 Secara klinis kelenjar tidak teraba
2. N1 Secara klinis teraba satu kelenjar limfa dengan ukuran diameter 3 cm homolateral.
3. N2 Teraba kelenjar limfa tunggal, ipsilateral dengan ukuran diameter 3 - 6 cm.
4. N2a Satu kelenjar limfa ipsilateral, diameter labih dari3 cm tapi tiak lebih daari 6 cm.
5. N2b Multipel kelenjar limfa ipsilateral, diameter tidak lebih dari 6 cm.
6. N2c Metastasis bilateral atau kontralateral, diameter tidak lebih daaari 6 cm.
7. N3 Metastasis kelenjar limfa lebih dari 6 cm.
METASTASIS JAUH (M)
Mx Tidak terdapat/terdeteksi.
M0 Tidak ada metastasis jauh. M1 Terdapat metastasis jauh.
STAGING (STADIUM)
8. ST1 T1 N0 M0
9. STII T2 N0 M0
10. STIII T3 N0 M0, T1/T2/T3 N1 M0
11. STIV T4 N0/N1 M0
12. T1/T2/T3/T4 N2/N3
13. T1/T2?T3/T4 N1/N2/N3 M3
Penanggulangan
Setelah diagnosis dan stadium tumor ditegakkan , maka ditentukan tindakan yang akan diambil sebagai penenggulangannya. Ada 3 cara penanggulangan yang lazim dilakukan, yakni pembedahan, radiasi, obat sitostatiska ataupun kombinasi daripadanya, tergantung pada stadium penyakit dan keadaan umum pasien.
Sebagai patokan dapat dikatakan stadium 1 dikirim untuk mendapatkan radiasi, staium 2 dan 3 dikirim untuk dilakukan operasi, stadium 4 dilakukan operasi dengan rekontruksi, bila masih memungkinkan atau dikirim untuk radiasi.
Jenis pembedahan adalah laringektomi totalis ataupun parsial, tergantung lokasi dan penjalaran tumor, serta dilakukan juga diseksi leher radikal bila terdapat penjalaran ke kelenjar limfaa leher. Di bagian THT RSCM tersering dilakukan laringektomi totalis, karena beberapa pertimbangan, sedangkan laringektomi parsial jarang dilakukan, karena tehnik sulit umtuk menentukan batas tumor.
Pemakaian sitostatiska belum memuaskan, biasanya jadwal pemberian sitostatiska tidak sampai selesai karena keadaan umum memburuk, disamping harga obat yang relatif mahal sehingga tidak terjangkau oleh pasien. Para ahli berpendapat, bahwa tumor laring ini mempunyai prognosis yang paling baik diantara tumor-tumor daerah traktus aerodigestivus, bila dikelola dengan tepat, cepat dan radikal.




PENGKAJIAN KEPERAWATAN
A. IDENTITAS KLIEN :
I. RIWAYAT KEPERAWATAN
Keluhan utama : dyspneu, sakit menelan, suara serak.
Riwayat Kesehatan Masa Lalu : Ada riwayat merokok, aktifitas yang berhubungan dengan suara.
II. PENGKAJIAN FISIK DAN POLA FUNGSI
A. KARDIORESPIRASI
1. Tanda-tanda vital : Tensi, Nadi, Suhu, Pernafasan
2. Respirasi : batuk, stridor, dyspneu, riwayat penyakit paru kronis, batuk dengan atau tanpa sputum.
3. Sirkulasi
4. GCS
B. MAKAN-MINUM / NUTRISI
TB / BB, terdapat penurunan BB drastis. Nafsu makan biasanya menurun bahkan mungkin tidak ada karena adanya nyeri telan, kesukaran menelan, benjolan pada leher, kebersihan mulut buruk, inflamasi / drainase oral.
III. ELIMINASI
IV. INTEGRITAS KULIT
V. MELAKUKAN MOBILISASI
Kelamahan, kelelahan
VI. ISTIRAHAT DAN TIDUR
Klien apabila tidur biasanya disertai dengan mendengkur keras.
VII. KEBERSIHAN DIRI
Kemunduran kebersihan mulut
VIII. NEUROSENSORIK
Diplopia, ketulian, kesemutan, parastesia otot wajah, ketulian konduksi, hemiparesis wajah (keterlibatan parotid dan sub mandibular), parau menetap (gejala dominan dan dini kanker laring intrinsik)
IX. LINGKUNGAN SOSIAL
Terdapat riwayat merokok / mengunyah tembakau, bekerja dengan serbuk / kayu, kimia toksik / serbuk, logam berat. Perasaan takut aka kehilangan suara, ansietas, depresi, marah, menolak., kurang dukungan sistem keluarga, perubahan tinggi suara, enggan untuk bicara,massalah tentang kemampuan berkomunikasi.



X. EKONOMI
Berhubungan dengan biaya perawatan selama sakit.

PEMERIKSAAN DIAGNOSTIK
Laringoskopi langsung, lareingeal tomografi dan biopsi : Ada;ah indikator paling nyata. Laringografi : Bapat dilakukan dengan kontras untuk pemeriksaan pembuluh darah dan nodus limfe. Pemeriksaan fungsi paru, scan tulang atau scan organ lain : bila dinyatakan kanker dan ditemukan ada metastase.
Sinar X dada : Dilakukan untuk membuat status dasar paru dan atau mengidentifikasi metastase. Darah lengkap : Dapat menyatakan anemia yang merupakan masalah umum. Survey imunologi : Dapat dilakukan pada klien yang mendapat kemoterapi.
Profil biokimia : perubahan dapat terjadi pada fungsi organ sebagai akibat kanker, metastase dan terapi. GDA / nadi oksimetri : Dapat dilakukan untuk membuat status / pengawasan dasar paru (ventilasi)
DIAGNOSA KEPERAWATAN
1. Bersihan jalan nafas tak efektif b/d gangguan kemampuan unutk bernafas,batuk dan menelan, sekresi banyak dan kental d/d dyspneu, perubahan pada frekuensi/kedalaman pernafasan Hasil yang diharapkan : - Mempertahankan kepatenan jalan nafas
14. Mengeluarkan / membersihkan sekret
Intervensi :
15. Awasi frekuensi / kedalaman pernfasan, catat kemudagan bernafas, selidiki dyspneu.
16. Tinggikan kepala 30-45 derajat.
17. Dorong menelan bila klien mampu.
18. Dorong batuk efektif dan dalam.
2. Perubahan membran mukosa oral b / d tak adanya masukkan oral, kebersihan oral buruk/ tak adekuat, kesulitan menelan, defisit nutrisi d/d :
19. mulut kering, ketidaknyamanan di mulut, saliva kental dan banyak, halitosis.
20. Mengidentifikasi intervensi khusus untuk meningkatkan kebesihan mukosa oral
Hasil yang diharapkan : Menunjukkan penurunan gejala Mengidentifikasi intervensi khusus untuk meningkatkan kebesihan mukosa oral
3. Gangguan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh b / d gangguan jenis makanan sementara, gangguan mekanisme umpan balik keinginan makan d / d tidak adekuatya masukkan makanan, ketidakmampuan mencerna makanan, penurunan berat badan.
Hasil yang diharapkan:
21. menunjukkan pemahaman pentingnya nutrisi untuk proses peyembuhan dn kesehatan umum.
22. Membuat pilihan diet untuk memenuhi kebutuhan nutrisi dalam situasi individu
23. Membuat peningkatan berat badan progresif mencapai tujuan dengan nilai laboratorium normal.
Intervensi :
24. Auskultasi bunyi usus.
25. Awasi berat badan dan masukkan sesuai indikasi.
26. Anjurkan pada klien/keluarga untuk menyediakan makanan lunak sesuai kondisi klien.
27. Mulailah dengan makanan kecil dan ditingkatkan sesuai toleransi.
28. Ciptakan lingkungan yang nyaman untuk makan.
29. Konsul dengan ahli gizi.
30. Berikan diet nutrisi seimbang dan sesuai kondisi.
31. Awasi pemeriksaan laboratorium, contoh BUN, gula, fungsi hati, protein, elektrolit.




DAFTAR PUSTAKA

Doenges, M. G. (2000). Rencana Asuhan Keperawatan, Edisi 3 EGC, Jakarta.

Dunna, D.I. Et al. (1995). Medical Surgical Nursing ; A Nursing Process Approach 2 nd Edition : WB Sauders.

Lab. UPF Ilmu Penyakit Telinga, Hidung dan tenggorokan FK Unair, Pedoman Diagnosis Dan Terapi Rumah Sakit Umum Daerah Dr Soetom FK Unair, Surabaya.
Makalah Kuliah THT. Tidak dipublikasikan

Prasetyo B, Ilmu Penyakit THT, EGC Jakarta

Rothrock, C. J. (2000). Perencanaan Asuhan Keperawatan Perioperatif. EGC : Jakarta.

Sjamsuhidajat & Wim De Jong. (1997). Buku Ajar Ilmu Bedah. EGC : Jakarta.

Soepardi, Efiaty Arsyad & Nurbaiti Iskandar. (1998). Buku Ajar Ilmu penyakit THT. FKUI : Jakarta.

ASKEP CKR

A. PENGERTIAN
Cidera kepala adalah kerusakan jaringan otak yang diakibatkan oleh adanya trauma (benturan benda atau serpihan tulang) yang menembus atau merobek suatu jaringan otak, oleh pengaruh suatu kekuatan atau energi yang diteruskan ke otak dan akhirnya oleh efek percepatan perlambatan pada otak yang terbatas pada kompartemen yang kaku (Price & Wilson, 1995).
Trauma kepala adalah suatu trauma yang mengenai daerah kulit kepala, tulang tengkorak atau otak yang terjadi akibat injury baik secara langsung maupun tidak langsung pada kepala. (Suriadi & Rita Yuliani, 2001)
Secara umum cedera kepala dapat diklasifikasikan menurut nilai skala glasgow, sebagai berikut :
 Ringan
 GCS 13-15
 Dapat terjadi kehilangan kesadaran atau amnesia tetapi kurang dari 30 menit
 Tidak ada kontusio tengkorak, tidak ada fraktur serebral, hematoma
 Sedang
 GCS 9 – 12
 Kehilangan kesadaran dan atau amnesia lebih dari 30 menit tetapi kurang dari 24 jam.
 Dapat mengalami fraktur tengkorak.
 Berat
 GCS 3 – 8
 Kehilangan kesadaran dan atau terjadi amnesia lebih dari 24 jam.
 Juga meliputi kontusio serebral, laserasi, atau hematoma intrakranial.
B. ETIOLOGI
 Kecelakaan, jatuh, kecelakaan kendaraan bermotor atau sepeda, dan mobil.
 Kecelakaan pada saat olah raga, anak dengan ketergantungan.
 Cedera akibat kekerasan
C. PATOFISIOLOGI
Cedera memegang peranan yang sangat besar dalam menentukan berat ringannya konsekuensi patofisiologis dari suatu trauma kepala. Cedera percepatan (aselerasi) terjadi jika benda yang sedang bergerak membentur kepala yang diam, seperti trauma akibat pukulan benda tumpul, atau karena kena lemparan benda tumpul. Cedera perlambatan (deselerasi) adalah bila kepala membentur objek yang secara relatif tidak bergerak, seperti badan mobil atau tanah. Kedua kekuatan ini mungkin terjadi secara bersamaan bila terdapat gerakan kepala tiba-tiba tanpa kontak langsung, seperti yang terjadi bila posisi badan diubah secara kasar dan cepat. Kekuatan ini bisa dikombinasi dengan pengubahan posisi rotasi pada kepala, yang menyebabkan trauma regangan dan robekan pada substansi alba dan batang otak.
Cedera primer, yang terjadi pada waktu benturan, mungkin karena memar pada permukaan otak, laserasi substansi alba, cedera robekan atau hemoragi. Sebagai akibat, cedera sekunder dapat terjadi sebagai kemampuan autoregulasi serebral dikurangi atau tak ada pada area cedera. Konsekuensinya meliputi hiperemi (peningkatan volume darah) pada area peningkatan permeabilitas kapiler, serta vasodilatasi arterial, semua menimbulkan peningkatan isi intrakranial, dan akhirnya peningkatan tekanan intrakranial (TIK). Beberapa kondisi yang dapat menyebabkan cedera otak sekunder meliputi hipoksia, hiperkarbia, dan hipotensi.
Genneralli dan kawan-kawan memperkenalkan cedera kepala “fokal” dan “menyebar” sebagai kategori cedera kepala berat pada upaya untuk menggambarkan hasil yang lebih khusus. Cedera fokal diakibatkan dari kerusakan fokal yang meliputi kontusio serebral dan hematom intraserebral, serta kerusakan otak sekunder yang disebabkan oleh perluasan massa lesi, pergeseran otak atau hernia. Cedera otak menyebar dikaitkan dengan kerusakan yang menyebar secara luas dan terjadi dalam empat bentuk yaitu: cedera akson menyebar, kerusakan otak hipoksia, pembengkakan otak menyebar, hemoragi kecil multipel pada seluruh otak. Jenis cedera ini menyebabkan koma bukan karena kompresi pada batang otak tetapi karena cedera menyebar pada hemisfer serebral, batang otak, atau dua-duanya.

D. MANIFESTASI KLINIK
♦ Hilangnya kesadaran kurang dari 30 menit atau lebih
♦ Kebungungan
♦ Iritabel
♦ Pucat
♦ Mual dan muntah
♦ Pusing kepala
♦ Terdapat hematoma
♦ Kecemasan
♦ Sukar untuk dibangunkan
♦ Bila fraktur, mungkin adanya ciran serebrospinal yang keluar dari hidung (rhinorrohea) dan telinga (otorrhea) bila fraktur tulang temporal.

E. KOMPLIKASI
♠ Hemorrhagie
♠ Infeksi
♠ Edema
♠ Herniasi

F. PEMERIKSAAN PENUNJANG
♠ Rotgen Foto
♠ CT Scan
♠ Laboratorium: darah lengkap (hemoglobin, leukosit, CT, BT)

G. PENATALAKSANAAN
Secara umum penatalaksanaan therapeutic pasien dengan trauma kepala adalah sebagai berikut:
1. Observasi 24 jam
2. Jika pasien masih muntah sementara dipuasakan terlebih dahulu.
3. Berikan terapi intravena bila ada indikasi.
4. Anak diistirahatkan atau tirah baring.
5. Profilaksis diberikan bila ada indikasi.
6. Pemberian obat-obat untuk vaskulasisasi.
7. Pemberian obat-obat analgetik.
8. Pembedahan bila ada indikasi.
H. ASUHAN KEPERAWATAN
1. Pengkajian
 Riwayat kesehatan: waktu kejadian, penyebab trauma, posisi saat kejadian, status kesadaran saat kejadian, pertolongan yang diberikan segera setelah kejadian.
 Pemeriksaan fisik
 Sistem respirasi : suara nafas, pola nafas (kusmaull, cheyene stokes, biot, hiperventilasi, ataksik)
 Kardiovaskuler : pengaruh perdarahan organ atau pengaruh PTIK
 Sistem saraf :
 Kesadaran à GCS.
 Fungsi saraf kranial à trauma yang mengenai/meluas ke batang otak akan melibatkan penurunan fungsi saraf kranial.
 Fungsi sensori-motor à adakah kelumpuhan, rasa baal, nyeri, gangguan diskriminasi suhu, anestesi, hipestesia, hiperalgesia, riwayat kejang.
 Sistem pencernaan
 Bagaimana sensori adanya makanan di mulut, refleks menelan, kemampuan mengunyah, adanya refleks batuk, mudah tersedak. Jika pasien sadar à tanyakan pola makan?
 Waspadai fungsi ADH, aldosteron : retensi natrium dan cairan.
 Retensi urine, konstipasi, inkontinensia.
 Kemampuan bergerak : kerusakan area motorik à hemiparesis/plegia, gangguan gerak volunter, ROM, kekuatan otot.
 Kemampuan komunikasi : kerusakan pada hemisfer dominan à disfagia atau afasia akibat kerusakan saraf hipoglosus dan saraf fasialis.
 Psikososial à data ini penting untuk mengetahui dukungan yang didapat pasien dari keluarga.
2. Diagnosa Keperawatan
 Resiko tidak efektifnya bersihan jalan nafas dan tidak efektifnya pola nafas berhubungan dengan gagal nafas, adanya sekresi, gangguan fungsi pergerakan, dan meningkatnya tekanan intrakranial.
 Perubahan perfusi jaringan serebral berhubungan dengan edema serebral dan peningkatan tekanan intrakranial.
 Kurangnya perawatan diri berhubungan dengan tirah baring dan menurunnya kesadaran.
 Resiko kurangnya volume cairan berhubungan dengan perdarahan, mual dan muntah.
 Resiko injuri berhubungan dengan menurunnya kesadaran atau meningkatnya tekanan intrakranial.
 Nyeri berhubungan dengan trauma kepala.
3. Intevensi Keperawatan
Resiko tidak efektifnya jalan nafas dan tidak efektifnya pola nafas berhubungan dengan gagal nafas, adanya sekresi, gangguan fungsi pergerakan, dan meningkatnya tekanan intrakranial.
Tujuan : Pola nafas dan bersihan jalan nafas efektif yang ditandai dengan tidak ada sesak atau kesukaran bernafas, jalan nafas bersih, dan pernafasan dalam batas normal.
Intervensi :
• Kaji Airway, Breathing, Circulasi.
• Kaji, apakah ada fraktur cervical dan vertebra. Bila ada hindari memposisikan kepala ekstensi dan hati-hati dalam mengatur posisi bila ada cedera vertebra.
• Pastikan jalan nafas tetap terbuka dan kaji adanya sekret. Bila ada sekret segera lakukan pengisapan lendir.
• Kaji status pernafasan kedalamannya, usaha dalam bernafas.
• Bila tidak ada fraktur servikal berikan posisi kepala sedikit ekstensi dan tinggikan 15 – 30 derajat.
• Pemberian oksigen sesuai program.
Perubahan perfusi jaringan serebral berhubungan dengan edema serebral dan peningkatan tekanan intrakranial.
Tujuan : Perfusi jaringan serebral adekuat yang ditandai dengan tidak ada pusing hebat, kesadaran tidak menurun, dan tidak terdapat tanda-tanda peningkatan tekanan intrakranial.
Intervensi :
• Tinggikan posisi kepala 15 – 30 derajat dengan posisi “midline” untuk menurunkan tekanan vena jugularis.
• Hindari hal-hal yang dapat menyebabkan terjadinya peningkatan tekanan intrakranial: fleksi atau hiperekstensi pada leher, rotasi kepala, valsava meneuver, rangsangan nyeri, prosedur (peningkatan lendir atau suction, perkusi).
• tekanan pada vena leher.
• pembalikan posisi dari samping ke samping (dapat menyebabkan kompresi pada vena leher).
• Bila akan memiringkan, harus menghindari adanya tekukan pada anggota badan, fleksi (harus bersamaan).
• Berikan pelembek tinja untuk mencegah adanya valsava maneuver.
• Pemberian obat-obatan untuk mengurangi edema atau tekanan intrakranial sesuai program.
• Pemberian terapi cairan intravena dan antisipasi kelebihan cairan karena dapat meningkatkan edema serebral.
• Monitor intake dan out put.
• Lakukan kateterisasi bila ada indikasi.
• Lakukan pemasangan NGT bila indikasi untuk mencegah aspirasi dan pemenuhan nutrisi.
Kurangnya perawatan diri berhubungan dengan tirah baring dan menurunnya kesadaran.
Tujuan : Kebutuhan sehari-hari terpenuhi yang ditandai dengan berat badan stabil atau tidak menunjukkan penurunan berat badan, tempat tidur bersih, tubuh bersih, tidak ada iritasi pada kulit, buang air besar dan kecil dapat dibantu.
Intervensi :
• Bantu anak dalam memenuhi kebutuhan aktivitas, makan – minum, mengenakan pakaian, BAK dan BAB, membersihkan tempat tidur, dan kebersihan perseorangan.
• Berikan makanan via parenteral bila ada indikasi.
• Perawatan kateter bila terpasang.
• Kaji adanya konstipasi, bila perlu pemakaian pelembek tinja untuk memudahkan BAB.
Resiko kurangnnya volume cairan berhubungan dengan perdarahan, mual dan muntah.
Tujuan : Tidak ditemukan tanda-tanda kekurangan volume cayran atau dehidrasi yang ditandai dengan membran mukosa lembab, integritas kulit baik, dan nilai elektrolit dalam batas normal.
Intervensi :
• Kaji intake dan out put.
• Kaji tanda-tanda dehidrasi: turgor kulit, membran mukosa, dan ubun-ubun atau mata cekung dan out put urine.
• Berikan cairan intra vena sesuai program.
Resiko injuri berhubungan dengan menurunnya kesadaran atau meningkatnya tekanan intrakranial.
Tujuan : Klien terbebas dari injuri.
Intervensi :
• Kaji status neurologist : perubahan kesadaran, kurangnya respon terhadap nyeri, menurunnya refleks, perubahan pupil, aktivitas pergerakan menurun, dan kejang.
• Kaji tingkat kesadaran dengan GCS
• Monitor tanda-tanda vital setiap jam atau sesuai dengan protokol.
• Berikan istirahat antara intervensi atau pengobatan.
• Berikan analgetik sesuai program.
Nyeri berhubungan dengan kerusakan jaringan.
Tujuan : Klien akan merasa nyaman yang ditandai dengan tidak mengeluh nyeri, dan tanda-tanda vital dalam batas normal.
Intervensi :
• Kaji keluhan nyeri dengan menggunakan skala nyeri, catat lokasi nyeri, lamanya, serangannya, peningkatan nadi, nafas cepat atau lambat, berkeringat dingin.
• Mengatur posisi sesuai kebutuhan untuk mengurangi nyeri.
• Kurangi rangsangan.
• Pemberian obat analgetik sesuai dengan program.
• Ciptakan lingkungan yang nyaman termasuk tempat tidur.
• Berikan sentuhan terapeutik, lakukan distraksi dan relaksasi.

ASKEP HF(GAGAL JANTUNG)

1. Pengertian
A. Pengertian.
Suatu kegagalan jantung dalam memompa darah untuk memenuhi kebutuhan tubuh (Purnawan Junadi, 1982).
Kegagalan jantung kongestif adalah suatu kegagalan pemompaan (di mana cardiac output tidak mencukupi kebutuhan metabolik tubuh), hal ini mungkin terjadi sebagai akibat akhir dari gangguan jantung, pembuluh darah atau kapasitas oksigen yang terbawa dalam darah yang mengakibatkan jantung tidak dapat mencukupi kebutuhan oksigen pada erbagai organ (Ni Luh Gede Yasmin, 1993).


Congestive Heart Failure (CHF) adalah keadaan patofisiologis berupa
kelainan fungsi jantung sehingga jantung tidak mampu memompa darah untuk
memenuhi kebutuhan metabolisme jaring an dan/atau kemampuannya hanya ada
kalau disertai peninggian volume diastolik secara abnormal (Mansjoer, 2001).
Menurut Brunner dan Suddarth (2002) CHF adalah ketidakmampuan
jantung untuk memompa darah yang adekuat untuk memenuhi kebutuhan
jaringan akan Oksigen dan nutrisi.
2. Etiologi
Menurut Hudak dan Gallo (1997) penyebab kegagalan jantung yaitu :
a. Disritmia, seperti: Bradikardi, takikardi, dan kontraksi premature yang sering
dapat menurunkan curah jantung.
b. Malfungsi katup, dapat menimbulkan kegagalan pompa baik oleh kelebihan
beban tekanan (obstruksi pada pengaliran keluar dari pompa ruang , seperti
stenosis katup aortik atau stenosis pulmonal), atau dengan kelebihan beban
volume yang menunjukan peningkatan volume darah ke ventrikel kiri.
c. Abnormalitas otot jantung, menyebabkan kegagalan ventrikel meliputi infark
miokard, aneurisme ventrikel, fibrosis miokard luas (biasanya dari
aterosklerosis koroner jantung atau hipertensi lama), fibrosis endokardium,
penyakit miokard primer (kardiomiopati), atau hipertrofi l uas karena hipertensi
pulmonal, stenosis aorta, atau hipertensi sistemik.
d. Ruptur miokard, terjadi sebagai awitan dramatik dan sering membahayakan
kegagalan pompa dan dihubungkan dengan mortalitas tinggi. Ini biasa terjadi
selama 8 hari pertama setelah infa rk.
Sedangkan menurut Brunner dan Suddarth (2002) penyebab gagal jantung
kongestif, yaitu: kelainan otot jantung, aterosklerosis koroner, hipertensi sistemik
atau pulmonal (peningkatan afterload) , peradangan dan penyakit miokardium
degeneratif, penyakit jantung lain, faktor sistemik
3. Klasifikasi
Menurut Mansjoer (2001) berdasarkan bagian jantung yang mengalami
kegagalan pemompaan, gagal jantung terbagi atas gagal jantung kiri, gagal
jantung kanan, dan gagal jantung kongestif. Menurut New York Heart
Association (Mansjoer, 2001) klasifikasi fungsional jantung ada 4 kelas, yaitu:
Kelas 1 : Penderita kelainan jantung tanpa pembatasan aktivitas fisik. Aktivitas
sehari-hari tidak menyebabkan keluhan.
Kelas 2 : Penderita dengan kelainan jantung yang mempunyai akti vitas fisik
terbatas. Tidak ada keluhan sewaktu istirahat, tetapi aktivitas sehari -
hari akan menyebabkan capek, berdebar, sesak nafas.
Kelas 3 : Penderita dengan aktivitas fisik yang sangat terbatas. Pada keadaan
istirahat tidak terdapat keluhan, tetapi ak tivitas fisik ringan saja akan
menyebabkan capek, berdebar, sesak nafas.
Kelas 4 : Penderita yang tidak mampu lagi mengadakan aktivitas fisik tanpa rasa
terganggu. Tanda-tanda dekompensasi atau angina malahan telah
terdapat pada keadaan istirahat.
3.
Patofisiologi Gagal Jantung
Gagal jantung bukanlah suatu keadaan klinis yang hanya melibatkan satu sistem tubuh melainkan suatu sindroma klinik akibat kelainan jantung sehingga jantung tidak mampu memompa memenuhi kebutuhan metabolisme tubuh. Gagal jantung ditandai dengan dengan satu respon hemodinamik, ginjal, syaraf dan hormonal yang nyata serta suatu keadaan patologik berupa penurunan fungsi jantung.
Respon terhadap jantung menimbulkan beberapa mekanisme kompensasi yang bertujuan untuk meningkatkan volume darah, volume ruang jantung, tahanan pembuluh darah perifer dan hipertropi otot jantung. Kondisi ini juga menyebabkan aktivasi dari mekanisme kompensasi tubuh yang akut berupa penimbunan air dan garam oleh ginjal dan aktivasi system saraf adrenergik. (3)
Kemampuan jantung untuk memompa darah guna memenuhi kebutuhan tubuh ditentukan oleh curah jantung yang dipengaruhi oleh empar faktor yaitu: preload; yang setara dengan isi diastolik akhir, afterload; yaitu jumlah tahanan total yang harus melawan ejeksi ventrikel, kontraktilitas miokardium; yaitu kemampuan intrinsik otot jantung untuk menghasilkan tenaga dan berkontraksi tanpa tergantung kepada preload maupun afterload serta frekuensi denyut jantung.
Dalam hubungan ini, penting dibedakan antara kemampuan jantung untuk memompa (pump function) dengan kontraktilias otot jantung (myocardial function). Pada beberapa keadaan ditemukan beban berlebihan sehingga timbul gagal jantung sebagai pompa tanpa terdapat depresi pada otot jantung intrinsik. Sebaliknya dapat pula terjadi depresi otot jantung intrinsik tetapi secara klinis tidak tampak tanda-tanda gagal jantung karena beban jantung yang ringan. (1)
Pada awal gagal jantung, akibat CO yang rendah, di dalam tubuh terjadi peningkatan aktivitas saraf simpatis dan sistem renin angiotensin aldosteron, serta pelepasan arginin vasopressin yang kesemuanya merupakan mekanisme kompensasi untuk mempertahankan tekanan darah yang adekuat. Penurunan kontraktilitas ventrikel akan diikuti penurunan curah jantung yang selanjutnya terjadi penurunan tekanan darah dan penurunan volume darah arteri yang efektif. Hal ini akan merangsang mekanisme kompensasi neurohumoral. (4)
Vasokonstriksi dan retensi air untuk sementara waktu akan meningkatkan tekanan darah sedangkan peningkatan preload akan meningkatkan kontraktilitas jantung melalui hukum Starling. Apabila keadaan ini tidak segera teratasi, peninggian afterload, peninggian preload dan hipertrofi/ dilatasi jantung akan lebih menambah beban jantung sehingga terjadi gagal jantung yang tidak terkompensasi.(4)
Manifestasi Klinik Gagal Jantung
Manifestasi klinis gagal jantung bervariasi, tergantung dari umur pasien, beratnya gagal jantung, etiologi penyakit jantung, ruang-ruang jantung yang terlibat, apakah kedua ventrikel mengalami kegagalan serta derajat gangguan penampilan jantung. (1,6)
Pada bayi, gejala Gagal jantung biasanya berpusat pada keluhan orang tuanya bahwa bayinya tidak kuat minum, lekas lelah, bernapas cepat, banyak berkeringat dan berat badannya sulit naik. Pasien defek septum ventrikel atau duktus arteriosus persisten yang besar seringkali tidak menunjukkan gejala pada hari-hari pertama, karena pirau yang terjadi masih minimal akibat tekanan ventrikel kanan dan arteri pulmonalis yang masih tinggi setelah beberapa minggu (2-12 minggu), biasanya pada bulan kedua atau ketiga, gejala gagal jantung baru nyata.
Anak yang lebih besar dapat mengeluh lekas lelah dan tampak kurang aktif, toleransi berkurang, batuk, mengi, sesak napas dari yang ringan (setelah aktivitas fisis tertentu), sampai sangat berat (sesak napas pada waktu istirahat).
Pasien dengan kelainan jantung yang dalam kompensasi karea pemberian obat gagal jantung, dapat menunjukkan gejala akut gagal jantung bila dihadapkan kepada stress, misalnya penyakit infeksi akut. (1)
Pada gagal jantung kiri atau gagal jantung ventrikel kiri yang terjadi karena adanya gangguan pemompaan darah oleh ventrikel kiri, biasanya ditemukan keluhan berupa perasaan badan lemah, berdebar-debar, sesak, batuk, anoreksia, keringat dingin.
Tanda obyektif yang tampak berupa takikardi, dispnea, ronki basah paru di bagian basal, bunyi jantung III, pulsus alternan. Pada gagal jantung kanan yang dapat terjadi karena gangguan atau hambatan daya pompa ventrikel kanan sehingga isi sekuncup ventrikel kanan menurun, tanpa didahului oleh adanya Gagal jantung kiri, biasanya gejala yang ditemukan berupa edema tumit dan tungkai bawah, hepatomegali, lunak dan nyeri tekan; bendungan pada vena perifer (vena jugularis), gangguan gastrointestinal dan asites. Keluhan yang timbul berat badan bertambah akibat penambahan cairan badan, kaki bengkak, perut membuncit, perasaan tidak enak di epigastrium. (2)
Pada penderita gagal jantung kongestif, hampir selalu ditemukan :
• Gejala paru berupa : dyspnea, orthopnea dan paroxysmal nocturnal dyspnea.
• Gejala sistemik berupa lemah, cepat lelah, oliguri, nokturi, mual, muntah, asites, hepatomegali, dan edema perifer.
• Gejala susunan saraf pusat berupa insomnia, sakit kepala, mimpi buruk sampai delirium.
Pada kasus akut, gejala yang khas ialah gejala edema paru yang meliputi : dyspnea, orthopnea, tachypnea, batuk-batuk dengan sputum berbusa, kadang-kadang hemoptisis, ditambah gejala low output seperti : takikardi, hipotensi dan oliguri beserta gejala-gejala penyakit penyebab atau pencetus lainnya seperti keluhan angina pectoris pada infark miokard akut. Apabila telah terjadi gangguan fungsi ventrikel yang berat, maka dapat ditemukn pulsus alternan. Pada keadaan yang sangat berat dapat terjadi syok kardiogenik.(4)
Penatalaksanaan Gagal Jantung
Terdapat tiga aspek yang penting dalam menanggulangi Gagal jantung : pengobatan terhadap Gagal jantung, pengobatan terhadap penyakit yang mendasari dan pengobatan terhadap faktor pencetus. Termasuk dalam pengobatan medikamentosa yaitu mengurangi retensi cairan dan garam, meningkatkan kontraktilitas dan mengurangi beban jantung.
Pengobatan umum meliputi istirahat, pengaturan suhu dan kelembaban, oksigen, pemberian cairan dan diet. Selain itu, penatalaksanaa gagal jantung juga berupa:
PEMERIKSAAN PENUNJANG
1. Rontgen dada :
- Meskipun tes diagnostik ini keuntungannya sedikit pada CHF akut, Rontgen dada adalah alat yang paling berguna.
- Dapat mengobservasi adanya cardiomegali
- Efusi pleura dapat terlihat
2. Pemeriksaan Echocardiography (ECHO)
- Dapat mengidentifikasi adanya tamponade jantung, konstriksi pericardial, dan emboli paru
3. Pemeriksaan EKG
4. Pemeriksaan Analisa Gas Darah (AGD) untuk mengevaluasi adanya hypoxemia, hiperkapnea, dan asidosis
5. Pemeriksaan Alanin Amino Transferase (ALT), aspartat aminotransferase (AST), bilirubin: mengindikasikan adanya hepatopathy kongestif
6. Enzim jantung dan marker serum lainnya untuk iskemi atau infark dapat diperiksa :
- CKMB
- LDH
7. Pemeriksaan creatinin, bilirubin, Na :peningkatan creatinin, hiperbilirubinemia, dan hiponatremi dapat terjadi pada beberapa kasus .

Prognosis Gagal Jantung
Pada sebagian kecil pasien, gagal jantung yang berat terjadi pada hari/ minggu-minggu pertama pasca lahir, misalnya sindrom hipoplasia jantung kiri, atresia aorta, koarktasio aorta atau anomali total drainase vena pulmonalis dengan obstruksi. Terhadap mereka, terapi medikmentosa saja sulit memberikan hasil, tindakan invasif diperlukan segera setelah pasien stabil. Kegagalan untuk melakukan operasi pada golongan pasien ini hampir selalu akan berakhir dengan kematian. (1,3)
Pada gagal jantung akibat PJB yang kurang berat, pendekatan awal adalah dengan terapi medis adekuat, bila ini terlihat menolong maka dapat diteruskan sambil menunggu saat yang bik untuk koreksi bedah. (1,4)
Pada pasien penyakit jantung rematik yang berat yang disertai gagal jantung, obat-obat gagal jantung terus diberikan sementara pasien memperoleh profilaksis sekunder, pengobatan dengan profilaksis sekunder mungkin dapat memperbaiki keadaan jantung. (1)
Komplikasi Gagal Jantung
Pada bayi dan anak yang menderita gagal jantung yang lama biasanya mengalami gangguan pertumbuhan. Berat badan lebih terhambat daripada tinggi badan. Pada gagal jantung kiri dengan gangguan pemompaan pada ventrikel kiri dapat mengakibatkan bendungan paru dan selanjutnya dapat menyebabkan ventrikel kanan berkompensasi dengan mengalami hipertrofi dan menimbulkan dispnea dan gangguan pada sistem pernapasan lainnya. Pada gagal jantung kanan dapat terjadi hepatomegali, ascites, bendungan pada vena perifer dan gangguan gastrointestinal. (1,3,6)


E. Asuhan Keperawatan Pada Klien Dengan Gagal Jantung
1. Pengkajian
a. Aktivitas dan istirahat
Kelemahan, kelelahan, ketidakmampuan untuk tidur (mungkin di dapatkan Tachycardia dan dispnea pada saat beristirahat atau pada saat beraktivitas).
b. Sirkulasi
Mempunyai riwayat IMA, Penyakit jantung koroner, CHF, Tekanan darah tinggi, diabetes melitus.
Tekanan darah mungkin normal atau meningkat, nadi mungkin normal atau terlambatnya capilary refill time, disritmia.
Suara jantung , suara jantung tambahan S3 atau S4 mungkin mencerminkan terjadinya kegagalan jantung/ ventrikel kehilangan kontraktilitasnya.
Murmur jika ada merupakan akibat dari insufisensi katub atau muskulus papilaris yang tidak berfungsi.
Heart rate mungkin meningkat atau menglami penurunan (tachy atau bradi cardia).
Irama jantung mungkin ireguler atau juga normal.
Edema: Jugular vena distension, odema anasarka, crackles mungkin juga timbul dengan gagal jantung.
Warna kulit mungkin pucat baik di bibir dan di kuku.
c. Eliminasi
Bising usus mungkin meningkat atau juga normal.
d. Nutrisi
Mual, kehilangan nafsu makan, penurunan turgor kulit, berkeringat banyak, muntah dan perubahan berat badan.
e. Hygiene perseorangan
Dispnea atau nyeri dada atau dada berdebar-debar pada saat melakukan aktivitas.
f. Neoru sensori
Nyeri kepala yang hebat, Changes mentation.
g. Kenyamanan
Timbulnya nyeri dada yang tiba-tiba yang tidak hilang dengan beristirahat atau dengan nitrogliserin.
Lokasi nyeri dada bagian depan substerbnal yang mungkin menyebar sampai ke lengan, rahang dan wajah.
Karakteristik nyeri dapat di katakan sebagai rasa nyeri yang sangat yang pernah di alami. Sebagai akibat nyeri tersebut mungkin di dapatkan wajah yang menyeringai, perubahan pustur tubuh, menangis, penurunan kontak mata, perubahan irama jantung, ECG, tekanan darah, respirasi dan warna kulit serta tingkat kesadaran.
h. Respirasi
Dispnea dengan atau tanpa aktivitas, batuk produktif, riwayat perokok dengan penyakit pernafasan kronis. Pada pemeriksaan mungkin di dapatkan peningkatan respirasi, pucat atau cyanosis, suara nafas crakcles atau wheezes atau juga vesikuler. Sputum jernih atau juga merah muda/ pink tinged.
i. Interaksi sosial
Stress, kesulitan dalam beradaptasi dengan stresor, emosi yang tak terkontrol.
j. Pengetahuan
Riwayat di dalam keluarga ada yang menderita penyakit jantung, diabetes, stroke, hipertensi, perokok.
k. Studi diagnostik
ECG menunjukan: adanya S-T elevasi yang merupakan tanda dri iskemi, gelombang T inversi atau hilang yang merupakan tanda dari injuri, dan gelombang Q yang mencerminkan adanya nekrosis.
Enzym dan isoenzym pada jantung: CPK-MB meningkat dalam 4-12 jam, dan mencapai puncak pada 24 jam. Peningkatan SGOT dalam 6-12 jam dan mencapai puncak pada 36 jam.
Elektrolit: ketidakseimbangan yang memungkinkan terjadinya penurunan konduksi jantung dan kontraktilitas jantung seperti hipo atau hiperkalemia.
Whole blood cell: leukositosis mungkin timbul pada keesokan hari setelah serangan.
Analisa gas darah: Menunjukan terjadinya hipoksia atau proses penyakit paru yang kronis atau akut.
Kolesterol atau trigliseid: mungkin mengalami peningkatan yang mengakibatkan terjadinya arteriosklerosis.
Chest X ray: mungkin normal atau adanya cardiomegali, CHF, atau aneurisma ventrikuler.
Echocardiogram: Mungkin harus di lakukan guna menggambarkan fungsi atau kapasitas masing-masing ruang pada jantung.
Exercise stress test: Menunjukan kemampuan jantung beradaptasi terhadap suatu stress/ aktivitas.
2. Diagnosa keperawatan dan rencana tindakan
a. Gangguan rasa nyaman nyeri berhubungan dengan iskemia jaringan jantung
Tujuan:
Setelah dilakukan tindakan keperawatan klien di harapkan mampu menunjukan adanya penurunan rasa nyeri dada, menunjukan adanya penuruna tekanan dan cara berelaksasi.
Rencana:
1. Monitor dan kaji karakteristik dan lokasi nyeri.
2. Monitor tanda-tanda vital (tekanan darah, nadi, respirasi, kesadaran).
3. Anjurkan pada pasien agar segera melaporkan bila terjadi nyeri dada.
4. Ciptakan suasana lingkungan yang tenang dan nyaman.
5. Ajarkan dan anjurkan pada pasien untuk melakukan tehnik relaksasi.
6. Kolaborasi dalam:
- Pemberian oksigen.
- Obat-obatan (beta blocker, anti angina, analgesic)
7. Ukur tanda vital sebelum dan sesudah dilakukan pengobatan dengan narkosa.
b. Intoleransi aktivitas berhubungan ketidakseimbangan antara suplai dan kebutuhan oksigen, adanya jaringan yang nekrotik dan iskemi pada miokard.
Tujuan: setelah di lakukan tindakan perawatan klien menunnjukan peningkatan kemampuan dalam melakukan aktivitas (tekanan darah, nadi, irama dalam batas normal) tidak adanya angina.
Rencana:
1. Catat irama jantung, tekanan darah dan nadi sebelum, selama dan sesudah melakukan aktivitas.
2. Anjurkan pada pasien agar lebih banyak beristirahat terlebih dahulu.
3. Anjurkan pada pasien agar tidak “ngeden” pada saat buang air besar.
4. Jelaskan pada pasien tentang tahap- tahap aktivitas yang boleh dilakukan oleh pasien.
5. Tunjukan pada pasien tentang tanda-tanda fisiki bahwa aktivitas melebihi batas.
c. Resiko terjadinya penurunan cardiac output berhubungan dengan perubahan dalam rate, irama, konduksi jantung, menurunya preload atau peningkatan SVR, miocardial infark.
Tujuan: tidak terjadi penurunan cardiac output selama di lakukan tindakan keperawatan.
Rencana:
1. Lakukan pengukuran tekanan darah (bandingkan kedua lengan pada posisi berdiri, duduk dan tiduran jika memungkinkan).
2. Kaji kualitas nadi.
3. Catat perkembangan dari adanya S3 dan S4.
4. Auskultasi suara nafas.
5. Dampingi pasien pada saat melakukan aktivitas.
6. Sajikan makanan yang mudah di cerna dan kurangi konsumsi kafeine.
7. Kolaborasi dalam: pemeriksaan serial ECG, foto thorax, pemberian obat-obatan anti disritmia.
d. Resiko terjadinya penurunan perfusi jaringan berhubungan dengan penurunan tekanan darah, hipovolemia.
Tujuan: selama dilakukan tindakan keperawatan tidak terjadi penurunan perfusi jaringan.
Rencana:
1. Kaji adanya perubahan kesadaran.
2. Inspeksi adanya pucat, cyanosis, kulit yang dingin dan penurunan kualitas nadi perifer.
3. Kaji adanya tanda Homans (pain in calf on dorsoflextion), erythema, edema.
4. Kaji respirasi (irama, kedalam dan usaha pernafasan).
5. Kaji fungsi gastrointestinal (bising usus, abdominal distensi, constipasi).
6. Monitor intake dan out put.
7. Kolaborasi dalam: Pemeriksaan ABG, BUN, Serum ceratinin dan elektrolit.
e. Resiko terjadinya ketidakseimbangan cairan excess berhubungan dengan penurunan perfusi organ (renal), peningkatan retensi natrium, penurunan plasma protein.
Tujuan: tidak terjadi kelebihan cairan di dalam tubuh klien selama dalam perawatan.
Rencana:
1. Auskultasi suar nafas (kaji adanya crackless).
2. Kaji adanya jugular vein distension, peningkatan terjadinya edema.
3. Ukur intake dan output (balance cairan).
4. Kaji berat badan setiap hari.
5. Najurkan pada pasien untuk mengkonsumsi total cairan maksimal 2000 cc/24 jam.
6. Sajikan makan dengan diet rendah garam.
7. Kolaborasi dalam pemberian deuritika.
DAFTAR PUSTAKA
Barbara C long. (1996). Perawatan Medical Bedah. Pajajaran Bandung.
Carpenito J.L. (1997). Nursing Diagnosis. J.B Lippincott. Philadelpia.
Carpenito J.L. (1998.). Buku Saku Diagnosa Keperawatan. Edisi 8 EGC. Jakarta.
Doengoes, Marylin E. (2000). Rencana Asuhan Dan Dokumentasi Keperawatan. Edisi 3 EGC. Jakarta.
Hudack & Galo. (1996). Perawatan Kritis. Pendekatan Holistik. Edisi VI, volume I EGC. Jakarta.
Junadi, Purnawan. (1982). Kapita Selekta Kedokteran. Media aesculapius Universitas Indonesia. Jakarta.
Kaplan, Norman M. (1991). Pencegahan Penyakit Jantung Koroner. EGC Jakarta.
Lewis T. (1993). Disease of The Heart. Macmillan. New York.
Marini L. Paul. (1991). ICU Book. Lea & Febriger. Philadelpia.
Morris D. C. et.al, The Recognation and treatment of Myocardial Infarction and It’sComplication.
Pusat Pendidikan Tenaga Kesehatan. (1993). Proses Keperawatan Pada Pasien Dengan Gangguan Sistem Krdiovaskuler. Departemen Kesehatan. Jakarta.
Tabrani. (1998). Agenda Gawat Darurat. Pembina Ilmu. Bandung.
(1994). Pedoman Diagnosis Dan Terapi Ilmu Penyakit Jantung. Fakultas Kedokteran Unair & RSUD dr Soetomo Surabaya